Santri: Dari Pesantren Untuk Bangsa dan Agama
Oleh: Prof Sumanto Al-Qurtuby
Santri adalah
siswa pesantren, salah satu (atau mungkin satu-satunya) institusi
pendidikan Islam tertua di Jawa. Penggagasnya adalah para kiai-Jawa yang
kelak banyak bergabung di ormas Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926.
Ada yang bilang lembaga dan sistem pendidikan pesantren itu dipengaruhi
oleh tradisi Budha. Ada pula yang mengatakan dipengaruhi oleh sistem
pendidikan dan cara belajar-mengajar di Masjidil Haram, Makah. Apapun
sejarah dan asal-usul pembentukannya, yang jelas pesantren memiliki
kontribusi sangat besar bukan hanya bagi perkembangan Islam saja tetapi
juga bagi bangsa, negara, dan umat pada umumnya.
Para santri di
pesantren-pesantren tradisional NU tidak hanya diajari mengaji tetapi
juga mengkaji Al-Qur’an dan kitab-kitab keislaman klasik. Para santri
bukan hanya dididik untuk memperdalam keimanan dan ilmu-ilmu keislaman
tetapi juga bertoleransi dengan masyarakat sekitar. Pesantren bukan
hanya sebatas institusi pendidikan saja tetapi juga lembaga pemberdayaan
masyarakat yang turut terlibat dalam penanganan problem-problem sosial
keumatan.
Pesantren bahkan bukan hanya “tempat pengajian” saja tetapi juga benteng pertahanan umat dari penjajahan Belanda dan Jepang.
Jelasnya, santri bukan hanya diajari untuk membela agama saja tetapi
juga membela umat manusia, bangsa dan negara kita tercinta.
Dulu,
pada zaman penjajah, kiai dan santri bersama para komponen bangsa lain,
berkobar-kobar melawan bangsa kolonial untuk mempertahankan Tanah Air
tercinta. Perang Jawa, Pemberontakan Banten, dan sejumlah perlawanan
sengit melawan Belanda dan Jepang di sepanjang Pulau Jawa di awal abad
ke-20 adalah tidak lepas dari pengorbanan dan perjuangan para santri
ini.
Kiai Abdul Karim menjadi salah satu penggerak utama
“Pemberontakan Banten” pada 1888, Kiai Mojo alias Kiai Muslim Muhammad
Khalifah, salah satu putra dari Kiai Khatib Imam Arif yang juga guru
Pangeran Diponegoro, selain Kiai Hasan Besari, menjadi “ruh spiritual”
dalam Perang Jawa, sementara Kiai Hashim Asy’ari (kakek Gus Dur) menjadi
motor Resolusi Jihad dan inspirator Bung Tomo.
Karena itu para
santri tentu saja tidak akan terima jika Negara Indonesia beserta
fondasi kenegaraan bangsa yang sudah dengan susah payah mereka
perjuangkan itu kemudian dilecehkan seenak perutnya sendiri oleh para
ormas Islam anyaran “kacung kampret” yang sama sekali tidak memiliki
kontribusi kesejarahan atas pendirian bangsa ini. Tentu saja para santri
tidak terima atas propaganda politik HTI untuk mengganti Pancasila
dengan sistem politik khilaf bernama Khilafah, atau kaum “Salafi
ekstrim” yang ingin mengubah dasar-dasar kenegaraan dengan sistem
politik-pemerintahan “bermerk Islam”. Santri tidak terima karena mereka
tahu kalau umat non-Muslim juga turut berkontribusi dalam perjuangan
kemerdekaan melawan penjajah.
Bagi santri, membela negara bukan
berarti mengabaikan agama seperti yang biasa dituduhkan oleh “kaum
unyu-unyu”. Justru dengan perjuangan membela negara dari tangan-tangan
kolonial penjajah itulah, umat agama bisa dengan leluasa mengekspresikan
nilai-niai keagamaan dan mempraktekkan ajaran-ajaran keislaman.
Jika sekarang, para pendatang baru dan “pecundang kesiangan” semacam
HTI dkk bisa mendompleng kayak “upil” di Negara Indonesia ini, antara
lain, karena jasa para kiai dan santri. Sungguh aneh bin ajaib jika
kemudian “mereka” malah mengatakan para kiai-pahlawan dan pejuang bangsa
itu telah wafat sia-sia. Sudah “ngupil” gak tahu diri pula.
No comments: