Rasa Romantis
Aku kehilangan rasa romantis sepertinya. Jiwa melankolis
ku semakin terkikis saat menetap di Kota besar. Mungkin karena memang banyak
polusi, hmm. Tapi apakah romantisme itu memang mujur?. Apakah hampir bisa
digeneralisasi bahwa semua wanita menyukai sesuatu yang romantis?. Sudah kucoba
berlari di tengah hujan tuk menumbuhkan rasa romantisku kembali. Tapi nampaknya
tak mempan. Yang terbayang hanyalah seperti menjadi usiaku saat tujuh tahun
dimana bermain hujan-hujanan bersama teman-teman yang bertelanjang dada. Aku
tidak bertelanjang dada. Bukan passion ku
itu. Sudah kucoba pula menyanyikan lagu-lagu yang berirama galau. Namun
lagu-lagu itu justru malah membuat ngantuk. Memang nyaman sekali saat mau tidur
mendengarkan lagu-lagu slowmelalui
headset, hmmm.... Heit, itu bukan yang ideal sebenarnya, lebih bagus membaca
ayat kursi, al-ikhlas beserta
al-mu’adzawitain.
Aku kehilangan
rasa romantis-ku. Apa karena aku terlalu jauh dengannya?. Memang, satu kota itu
identik dekat. Tapi kalau letaknya dari ujung ke ujung lain tidak terasa dekat
memang. Tuh kan, aku kehilangan rasa romantisku. Orang yang memiliki romantisme
tinggi akan mengatakan, jarak bukan masalah, jauh di mata namun dekat di hati.
Atau karena terlalu makan bangku kuliah? (yang ini alay, bukan romantis).
Pemikiran-pemikiran yang berdasar teori, konsep, materialistik, realistik,
mempengaruhi pula caraku berpikir. Tapi hidup tidak serumit kamu (red, aku).
Mereka yang memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, prestasi yang
mumpuni, hidup dalam deraian angka dan data, bisa tetap mempertahankan jiwa
romantisnya. Ambil contoh Presiden terbaik kita (red, in my opinion) Pak Habibie. Siapa tidak kenal beliau. Bisa dibilang
manusia tercerdas Indonesia sampai saat ini, pemilik ratusan hak paten di
berbagai belahan dunia. Di depan istrinya, dia adalah seorang romantist.
Tingkat tinggi bisa dibilang. Bagaimana Film yang menceritakan kisah cinta
mereka pun sungguh gila romantisnya, hmm.... diperankan dengan sangat romantis
oleh aktor dan aktris terbaik. Bahkan ditonton oleh bapak presiden sby yang
cukup tinggi juga beliau sense of
melancholis-nya. So, mungkin teori ini bisa disebut salah total. Romantisme
dan Intelektualitas tidak berbanding lurus, ataupun terbalik.
Aku kehilangan my sense of melancholis. Seharusnya aku
tidak menghilangkannya. Bahkan panutan utamaku, suri tauladan seluruh manusia,
Rasul Saw, adalah seseorang yang berjiwa romantis. Dia bahkan mempunyai
panggilan romantis untuk istrinya Aisyah
yaitu ‘Humaira’. Untuk yang satu ini, semua wanita mungkin akan setuju bahwa
aku harus meneladaninya. Tapi untuk urusan matsna,
wa tsulasa, wa ruba’ dijamin bakal ditolak mentah-mentah. Katanya harus
meneladani Rasul, gimana sih haha. Begitu romantis kan, saat-saat Rasul membagi
waktu secara adil terhadap istri-istrinya. Dan Istrinya pun menikmati
romantisme itu dengan hati lapang. Hmm, sangat romantis.
Aku kehilangan
rasa romantis itu. Artinya, yah memang aku pernah memilikinya. Sudah kucoba
resapi lirik-lirik romantis dari Alm. Chrisye, seperti yang kau minta, kisah cintaku, pergilah kasih, andai aku bisa,
kangen, tapi belum berhasil. Mungkin lagu itu terlalu lawas. Kucoba pada
lirik-lirik Ebiet, Ari Lasso, bahkan Letto dengan lagu-lagu khasnya yang
romantis. Tetap tak mengembalikan romantisme itu. Lagu-lagu Payung Teduh yang
sangat aduhai romantisme nya itu beuh.. sayang lirik-liriknya sulit dipahami
bagiku, sedikit malah membuat keram otak untuk meresapi maknanya. Tapi diringi
irama musik khasnya, sejauh ini teman terbaik untuk menutup mata. jangan lupa
yang idealnya, hehe.
Aku kehilangan
romantisme. Tapi untungnya dia tidak marah, dia selalu tersenyum, dan tak
pernah mengatakan merasa tidak nyaman. Mungkin dia tahu, bahwa rasa di dalam
hatiku (red, sebenarnya apa yang kita sebut dengan ‘perasaan’ terletak pada otak
kita, bukan pada hati yang notabene ‘liver’ penetralisir racun) tidak perlu
diucapkan terus menerus. Aku tidak kehilangan perasaanku chan. Hanya rasa romantis yang sedang surut. Dan Aku yakin itu akan
kembali, dengan kebahagiaan tentunya. Karena beberapa orang mendadak menjadi
pujangga saat sedang galau atau merasa sakit hatinya. Aku yakin kamu padaku,
dan aku padamu. Entah apa sebenarnya ‘itu’. Biarkan kapal terus berjalan,
melawan badai yang menerjang, mabuk laut muntahkan, muatan lebih jatuhkan,
layar jatuh kembangkan, kemudi kapal seimbangkan. Yang terakhir ini cukup
romantis sepertinya.
tanpa tempat,
tanpa tahun.
Glad to read your blog sir
ReplyDeleteGlad to read your blog sir
ReplyDelete