Politik adalah Volunteerisme
Sudah menjadi kebiasaan kita sebagai manusia
stereotip. Kita selalu melakukan generalisasi terhadap sesuatu. Hanya karena
teman kita yang keturunan china pelit misalnya, kita seketika mencap bahwa
keturunan china itu pelit. Hanya karena teman kita yang orang papua keras
kepala, kita tanpa pikir panjang mengatakan bahwa semua orang papua itu keras
kepala. Bahkan dalam urusan agama. Karena kebanyakan pengeboman rumah ibadah
dilakukan oleh orang yang beragama Islam, Jadilah Islam yang dijadikan koban
streotip. Untuk itulah diciptakan sebuah kata ajaib yang dapat memutus rantai
generalisasi ini, yaitu kata “oknum”. Oknum adalah kata mujarab yang dapat
menghancurkan stereotip. Oknum juga dapat menjaga integritas dan kepercayaan
diri Instansi yang bisa dibilang level tinggi sekalipun. Kepolisian bisa
mengatakan polisi yang mengonsumsi narkoba itu oknum. Polisi yang tertangkap
pungli itu oknum. Polisi yang Korupsi itu oknum. Itulah fungsi dari oknum.
Salah satu korban lain dari stereotip adalah politik. Politik di
mata masyarakat adalah sesuatu yang negatif. Hal ini disebabkan oknum-oknum
pelaku politik memberikan gambaran yang mengerikan bagi masyarakat mengenai
politik. Politik itu seperti tempat kotor, penuh dengan mafia, penjahat,
manusia haus kekuasaan, mencari musuh dan permainan berbahaya. Masih teringat
di telinga ketika seorang teman ditanya. “Katanya kamu suka politik? Kenapa
malah ambil PKn?”. Jawabnya “Orang tua bilang ga boleh belajar kaya begituan”.
Ilmu Politik sudah seperti ilmu hitam. Sepertinya itulah gambaran besar
masyarakat memandang dunia politik saat ini. Setidaknya gambaran dunia hukum
bisa menandingi stereotip buruk terhadap dunia politik. Bahkan tidak sedikit
masyrakat bisa dikatakan sangat anti terhadap politik.
Sejatinya, Politik adalah Volunteerisme
atau Kesukarelaan. Kebanyakan adalah Individu-individu yang sudah mapan yang
peduli terhadap masyarakat dengan mengabdikan diri sebagai pelayan masyarakat.
Politik bukan melulu soal kekuasaan. Manusia yang terjun ke dunia politik
adalah manusia yang rela untuk memperhatikan kepentingan umum di samping
kepentingan pribadinya. Itulah sebabnya mereka disebut para sukarelawan “The
Volunteer”. Lihat bagaimana negara maju seperti Singapura yang memperlihatkan
kedewasaan berpolitik. Dalam masyarakat yang sudah mapan, adalah sebuah
keberuntungan adanya individu yang siap untuk mengabdikan diri kepada
masyarakat. Bahkan hampir semua pejabat negara Singapura tidak menerima gajinya
dan justru disumbangkan kepada negara. Lalu mengapa Indonesia berbeda? Mengapa
masyarakat memandang dunia politik dengan stereotip buruk? Mengapa semakin
banyak manusia yang anti-politik?. Bisa jadi karena salah satunya, oknum-oknum
politik yang jauh lebih banyak daripada politikus sejati. Aneh memang, oknum
justru merupakan mayoritas.
Di Indonesia, Politik adalah salah satu mata
pencaharian. Itu benar-benar terlihat dengan jelas. Jabatan Politik adalah
sebuah profesi. Pernah dilakukan sebuah penelitian oleh lembaga survei yang
juga didampingi KPK bahwa biaya kampanye seorang calon tidak sebanding dengan
Gaji yang diterima oleh nya jika ia terpilih. Calon Kepala Daerah misalnya,
membutuhkan dana untuk kampanye sekitar 25 juta rupiah untuk setiap desa/titik.
Bisa dibayangkan jumlah dana kampanye jika dikalikan dengan jumlah desa. Itupun
hanya untuk kampanye semata. Belum untuk biaya lain. Lalu berapa gaji yang
diterimanya? Ternyata hanya berkisar 20 juta rupiah per bulan untuk setiap gaji
kotornya. Melihat hasil survei ini, bahkan beberpa teman saya yang berminat
jadi walikota pun sedikit mengkerut mukanya. Namun yang mengejutkan adalah
semua calon yang sudah terpilih dan menjadi kepala daerah justru kekayaannya
meningkat setelah mereka terpilih. Baik meningkat dengan kuantitas sedikit
maupun meningkat secara signifikan. Belum lagi masalah kaderisasi partai yang
salah. Yang juga semakin mencoreng dunia politik. Bagaimana mungkin kader yang
telah mengabdi puluhan tahun dari bawah bisa kalah untuk dicalonkan ketika akan
disaingkan hanya dengan seseorang yang muncul tiba-tiba. Money Politic
kah? Entah lah.
Lalu kendala lain dalam menjadikan Politik
sebagai Volunteerisme adalah ekonomi yang mapan. Tidak bisa dipungkiri
bahwa yang menyebabkan politik menjadi sebuah mata pencaharian ataupun money
politik dapat berkembang subur adalah ekonomi masayarakat dan para pelaku
politik yang tidak mapan. Tidak mungkin seseorang bisa masuk politik karena
sukarela jika melihat kekotoran dunia Polirik. Tidak mungkin suara masyarakat
bisa dibeli dengan uang jika masyarakatnya sudah tidak memikirkan uang lagi.
Jadi, bagi beberapa orang, saat ini adalah hal yang mustahil memupuk nilai Volunteerisme
di Indonesia. Maka muncul juga ide calon independen. Calon yang hendak masuk
dunia politik tanpa Partai. Deparpolisasi ini sebenarnya bukan solusi. Pemimpin
daerah yang hendak membuat kebijakan
harus berdiskusi atau dalam hal ini berdiplomasi politik dengan wakil rakyat
seperti DPRD yang notabene berasal dari Partai. Oleh karena itulah, partai
adalah unsur utama dalam dunia demokrasi. Menghindar dari partai bukanlah
pemecahan masalah.
Sosialisasi partai politik sangat diperlukan.
Jangan sampai kebencian terhadap politik membuat kita enggan untuk mempelajari
Politik. Anti-Politik bukanlah sebuah keniscayaan. Pedagang kaki lima harus
memahami Politik. Politik lah yang menentukan zona-zona kalian boleh berdagang
dan tidak boleh berdagang. Pengusaha harus memahami politik. Politik lah yang
menentukan jumlah pajak yang harus kalian bayar setiap tahunnya. Dokter juga
harus memahami politik. Siapa menduga misalnya jika berganti kepemimpinan
politik dengan kebijakan pengiriman dokter ke tempat terpencil. Tidak lupa Guru
juga. Kepemimpinan Politik yang berganti dan berubah bisa mengurangi gaji, atau
bahkan menghapus gaji ketiga belas kalian. Eh, bukan itu saja, yang paling utama
kepemimpinan politik yang berganti bisa mengubah kurikulum juga. Membuat repot
kan?
No comments: