Machiavellian sejati, Joker atau Thanos?

Baik peradaban barat maupun peradaban timur, masing-masing memiliki ciri khas klasik dalam alur cerita rakyatnya. Meskipun tidak semuanya, namun kebanyakan cerita rakyat yang diturunkan secara lisan di dunia barat memiliki satu kesamaan corak, yaitu corak hitam dan putih.

Selalu dapat ditarik garis perbedaan yang jelas antara si jahat dan si baik, antara tokoh protagonis dan antagonis. Kita yang mendengarkan dapat mengambil kesimpulan secara langsung siapa yang harus kita dukung. Dan diakhir cerita, tentu saja si jagoan hidup bahagia dan penjahat mati atau sengsara. Sebut saja kisah Cinderella, Putri Salju, ataupun kisah Pinokio.

Jika kita lebih memperhatikan cerita rakyat di peradaban timur, maka akan terlihat bahwa garis hitam dan putih sangat mengambang bahkan cenderung abu-abu. Mari kita tengok kisah Mahabarata. Perang besar antara Pandawa dan Kurawa. Siapapun yang mendengar cerita nya akan memiliki keberpihakan kepada tokoh yang berbeda.

Ada yang memilih, Pandawa, ada Kurawa, ada yang lebih condong Pada satu tokoh seperti Arjuna atau Yudhistira. Ada yang mendukung Pandawa tapi juga bersimpati pada Kurawa, dan lain sebagainya. Selalu tidak jelas garis perbedaan antara si jagoan dan si penjahat. Namun tentu saja selalu ada kecenderungan kebaikan pada pihak tertentu.

Zaman Sinema Modern

Dari drama Shakespeare Romeo dan Juliet hingga drama TV modern Cowboy dan Zorro pada awal 1900-an, biang keladi jahat yang selalu menghalalkan segala cara sudah menjadi tipe karakter yang kita suka untuk dibenci. Sangat lazim, faktanya, selama berabad-abad orang barat punya satu kata untuk mendeskripsikan karakter semacam itu: Machiavellian.

Ketenarannya yang kekal datang dari esai politik singkat, The Prince, dianggap sebagai nasihat untuk raja yang sedang berkuasa dan masa depan. Machiavelli tidak berusaha mendeskripsikan pemerintahan yang ideal atau mendorong pembacanya untuk memerintah dengan adil dan baik. Alih-alih, ia berfokus pada pertanyaan akan kekuasaan bagaimana mendapatkannya dan bagaimana mempertahankannya.

Shakespeare menggunakan "Machiavel" untuk menunjukkan seorang oportunis tak bermoral yang membawa kita sampai ke penggunaan populer dari "Machiavellian" sebagai sinonim dari kejahatan manipulatif.

Namun, corak hitam dan putih dan bagaimana kita memandang penjahat ini berubah setelah munculnya film berjudul A Clockwork Orange pada tahun 1971. Narasi dalam film ini menyuguhkan sisi lain dari penjahat, sisi yang menumbuhkan simpati bagi penontonnya.

Hollywood mulai berubah setelah gebrakan film dari sutradara Stanley Kubrick tersebut. Penjahat bukan hanya sosok yang tiba-tiba menjadi jahat dan tanpa tujuan baik. Beberapa penjahat justru lahir karena sebab menjadi korban kejahatan. Beberapa penjahat bahkan justru sangat Machiavellian, menggunakan cara apapun untuk mencapai kebaikan yang diinginkan.

Penjahat kini bukan hanya anjing yang mengejar bola lalu membuang nya setelah mendapatkannya. Penjahat kini bukan hanya menyerang fisik dari tokoh utama, ia mulai menyerang ide, visi dan eksistensi dari keberadaan tokoh utama itu sendiri. Ia memberikan tantangan kepada nilai-nilai yang dianggap oleh tokoh utama sebagai kebenaran yang mutlak dengan menawarkan nilai yang baru yang juga dapat diperdebatkan.

Thanos vs Joker

Beruntung kedua Villain ini berada pada Universe yang berbeda. Karena seorang tokoh utama yang memiliki Villain yang cocok dan sesuai dengan kemampuan dirinya belum tentu cocok dengan Villain lain. Joker sangat sesuai dengan kemampuan Batman, Ia tau Batman punya satu peraturan paling dasar, Ia tidak membunuh. Maka keduanya akan melahirkan pertempuran-pertempuran seru dengan batasan masing-masing. Jika Joker menjadi Villain pada tokoh utama lain, dia bisa saja mati dalam satu serangan.

Lalu antara Joker dan Thanos, siapakah yang lebih pantas disebut sebagai Machiavellian sejati?

Ada satu saran Machiavelli yang paling terkenal untuk penguasa, "lebih aman ditakuti daripada dicintai." Machiavelli memahami kenyataan pelik: kebaikan yang lebih besar dari kestabilan politik sebanding dengan taktik kotor apapun yang diperlukan untuk memperolehnya.

Filsuf Isaiah Berlin mengatakan bahwa Machiavelli bukannya tidak bermoral, The Prince kembali ke moralitas zaman Yunani kuno, meletakkan kejayaan negara di atas ideal Kristen tentang keselamatan individu. Baik Yahudi, Kristen, maupun Islam punya satu nilai universal yang sama-sama menggebrak pada masanya, yaitu bahwa nyawa individu itu sangat bernilai. Nyawa seorang Raja sama dengan nyawa seorang budak.

Thanos memiliki tujuan yang baik, memberikan keseimbangan pada alam semesta. Alam semesta yang dia anggap sudah melebihi batas populasi, harus diseimbangkan kembali dengan memusnahkan separuhnya. Untuk siapa memusnahkan separuhnya? Untuk separuhnya lagi yang tidak dimusnahkan.

Sama seperti Machiavelli, Thanos tidak memberikan penghargaan pada nyawa individu. Dia berbicara tentang masalah kolektif. Bahwa seseorang harus bertindak untuk menyelesaikan masalah ini. Sekalipun mengorbankan sesuatu dengan skala yang besar.

Kita dapat melihat kasus wabah PES di eropa, atau yang sering disebut wabah hitam. Memusnahkan satu pertiga hingga dua pertiga warga eropa pada pertengahan hingga akhir abad ke-14. Dibalik tragedi tersebut, terdapat keuntungan tersendiri bagi warga eropa. Tersedianya sandang, pangan dan papan yang melebihi jumlah populasi. Tidak ada lagi manusia kelaparan dan tidak ada lagi manusia pengangguran. Kemajuan pun lebih mudah diraih karena kesejahteraan individu sudah diraih.

Thanos menantang ide kebernilaian nyawa individu dengan keseimbangan alam. Seperti Machiavelli, ia kembali pada moralitas yunani kuno, dan mengesampingkan nilai yang dibawa oleh agama samawi.

Joker sendiri tidak memiliki latar belakang kisah atau sebab utama munculnya nilai yang ia miliki saat ini sebagaimana Thanos memiliki kisah awal yang menjadi inspirasinya. Ia sendiri sebagai penghuni rumah sakit jiwa Arkham Asylum secara kejiwaan dapat dikategorikan sebagai orang gila. Namun ide yang dibawa orang gila ini juga sama mengancam nya pada eksistensi sang pahlawan.

Batman sangat mengimpikan Law and Order, Ketertiban dan Keteraturan. Ia tahu bahwa institusi penegak hukum tidak mampu mencapainya. Oleh karena itu ia memutuskan untuk main hakim sendiri kepada para penjahat dengan satu pertaturan, ia tidak boleh membunuh.

Joker menawarkan ide bahwa Ketertiban dan Keteraturan itu hanyalah utopia. Batman harusnya tau bahwa para kriminal itu juga berlindung dibalik Law and Order. Tidak ada satu orang pun penjahat yang menginginkan chaos. Chaos hanya akan menjatuhkan jaringan mereka, sebagaimana menjatuhkan tatanan pemerintahan.

Joker memandang bahwa Manusia itu dasarnya Homo Homini Lupus. Manusia pada dasarnya adalah seorang penjahat. “When the chips are down, These Civilized People will eat each other.” Hukum dan Moral manusia itu adalah lelucon. Bagaimana bisa kematian satu batalyon tentara tidak lebih mengharukan dari kematian seorang anak balita. Karena tentara memang harus siap untuk mati sedang anak balita tidak. Siapa yang menentukan Moral semacam itu? Manusia itu sendiri. Itulah Lelucon.

Joker menginginkan hilangnya hukum dan moral. Chaos adalah jawaban dari segala permasalahan di dunia ini. Satu hal yang membuat Chaos berbeda dari yang lain adalah karena ia Fair, adil. Siapapun bisa berbuat apapun yang dia mau kepada siapapun. Siapapun bisa memiliki barang yang dimiliki siapupun. “The only sensible way to live is without rule.”

Joker dan Thanos adalah dua dari sekian banyak Villain gaya baru pada cerita dunia barat. Keduanya tidak hanya jahat, namun memiliki nilai yang ditawarkan untuk mendobrak nilai lama konservatif status quo.

Namun, dari pemaparan di atas, kita dapat ambil kesimpulan bahwa Thanos dapat dikategorikan sebagai Machiavellian sesungguhnya dibandingkan dengan Joker. Ciri utamanya adalah Pengorbanan sesuatu dengan cara apapun untuk tujuan yang lebih baik. Machiavelli yang meninggikan ketertiban tentu saja tidak sesuai dengan nilai Joker yang lebih Chaotic. Joker lebih cenderung sebagai panglima anarki.

Machiavelli mungkin sudah menulis sebuah panduan untuk penguasa yang tiran, tapi dengan membagikannya, ia juga berbagi rahasia dengan mereka yang dikuasai. Dalam melakukannya, ia merevolusi filosofi politik, meletakkan dasar untuk Hobbes dan para pemikir masa depan untuk mempelajari hubungan manusia berdasarkan kenyataan yang konkret daripada ideal yang berprasangka. Lewat kejujurannya yang brutal dan mengejutkan, Machiavelli berusaha menghancurkan delusi populer tentang kekuatan yang diperlukan. Ia berharap orang-orang akan "belajar cara ke neraka agar bisa lari dari sana."


No comments:

Powered by Blogger.