Sudah Lama Aku Tidak Menulis Puisi
![]() |
(c) Behance: Iladya Avci |
Sudah lama aku tidak menulis puisi. Menimba
percikan-percikan perasaan dari dalamnya sumur hati ke pikiran di kepala, untuk
seterusnya ia keluar sebagai kata-kata. Sudah lama sumur itu mengering, entah
sebabnya.
Entah karena sudah lama tidak diguyur hujan perhatianmu. Atau
karena pohon-pohon asmara di sekitarnya yang sudah kutebang hingga ia tak mampu
lagi meyerap air yang jatuh. Yang pasti, hari ini tidak hujan dan pohon di
sekitarnya telah tiada.
Rasa penyesalan itu selalu ada. Sebagaimana diriku menyesal
saat kurobohkan pohon asmara di kebun emosi itu satu persatu. Sempit, kataku
saat itu. Sinar matahari kebebasan tidak bisa merayap ke dalam rumah logika
melalui jendela pertimbangannya.
Pohon itu tepat berada di depan jendela rumahku. Oksigen yang
kuhirup darinya setiap waktu tidak bisa mengalahkan hasratku akan cahaya
mentari. Kutebang, kugergaji, dan kubuang pohon asmara itu.
Sudah lama aku tidak menulis puisi. Sehari, Dua hari.
Sebulan, Dua Bulan. Setahun, Dua Tahun. Sumur hati itu tak berair lagi. Padahal
hujan perhatian darimu masih turun sebagaimana mestinya. Nampaknya air yang
jatuh tak lagi terserap. Ia hanya membasahi tanah, menuju sungai hingga kembali
ke tempat asalnya, Laut Cintamu.
Kugadaikan air yang jernih dengan cahaya mentari. Kuabaikan
hujan perhatian dengan sebuah kehangatan. Kubuang keteduhan untuk kunikmati
kebebasan.
Dan dug! Hal yang kutakutkan terjadi. Terdengar bunyi ember
plastik beradu dengan tembok dan tanah yang tandus. Sumur hatiku benar-benar
kering. Percikan-percikan perasaannya biasa kugunakan sebagai tinta untuk
menulis sebuah puisi. Hujan darimu pun tak datang lagi.
Engkau tak lagi menyanjung mentari. Meski konon ialah yang
mampu menerbangkan laut cintamu ke angkasa sebagai awan-awan, untuk jatuh
dipelukanku sebagai kesejukan. Kau marah padanya, memunggunginya, dan tak lagi
bicara padanya.
Sudah lama aku tidak menulis puisi. Bagaimana mungkin menjadi
balad kalau perasaan tak terisi? Ia bukan lagi emosi yang tertahan di
kerongkongan. Ia sudah tertimbun pasir-pasir waktu dan sebuah perasaan yang
masih belum bisa memaafkan.
Bagaimana mungkin menggali sumur lain bila seluruh negeri
tak lagi kau sirami? Ia bukan lagi kemarau musiman di pertengahan tahun. Ia
sudah menjadi iklim gurun di padang pasir dan seorang sosok yang hanya bisa
tersenyum getir.
Aku berpikir, bibit harapan yang kubeli pagi ini bisa
menjadi kunci. Untuk kutanam tepat di depan jendela rumahku lagi. Tak apa ia
menghalangi sinar mentari. Selagi aku bisa menulis puisi kembali.
Kutunggu hujanmu untuk mengguyur sumur hati ini. Seseorang
tanpa amarah di dalam dadanya. Untuk diriku mengharap kata maaf kuucapkan di
depan kedua bola matamu. Agar hatiku dan hatimu tersenyum kembali menatap
mentari bersama-sama.
No comments: