Meninjau Kembali Pers Indonesia




Pers saat ini sudah berkembang sangat jauh dari sejak kemunculannya. Di dunia sekarang ini, Informasi dan Komunikasi bukanlah hal yang sepele. Keduanya sangat diperhitungkan. Bahkan dalam UUD Negara Republik Indonesia pasal 28 f, mengenai Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Hal ini menandakan sangat vitalnya peran informasi dan komunikasi pada saat ini. Informasi dan Komunikasi disejajarkan dengan hak yang paling utama, yaitu hak hidup. Artinya, Setiap orang yang hidup maka berhak pula memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan orang lain.

            Selain media informasi dan komunikasi, Pers juga berfungsi sebagai wadah kritik bagi pemerintah. Pers merupakan badan pengawas tak resmi sebuah pemerintahan. Pers seakan menjadi pengawal jalan nya roda dan kebijakan pemerintah. Sebuah adagium mengatakan Ask the jugde to know the rules Ask the journalist to rule the world.” Pers sangat berperan penting dalam membentuk opini publik mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Dapat dikatakan sebagai bentuk indoktrinasi halus.
            Pers di Indonesia mengalami pasang surut dan sejarah yang panjang. Keadaan pers pada masa orde baru adalah masa-masa yang paling sulit. Dimana kebebasan bagi dunia pers sangat dikekang dan ditekan. Tidak sedikit kantor-kantor berita yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah dibredel. Kekuasaan orde baru yang memiliki masa yang cukup lama yakni 32 tahun, tidak mungkin akan langgeng tanpa membetasi kebebasan pers. Pers dianggap cukup berbahaya dan mengancam kelanggengan Pemerintah. (Rizal mallarangeng, 2010).   
Proses pembelengguan Pers di Indonesia terlihat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut, kondisi pembelengguan Pers pada masa itu memiliki landasan yuridis untuk memperkuat kekuasaan otoriter dan tak terjamah oleh kritik dan kontrol sosial melalui pers. (Wikrama, 2005).
Era reformasi memberikan nafas lega bagi bangsa Indonesia khususnya para praktisi Pers sendiri. Pencabutan ketentuan hukum pers orde baru yang membelenggu kemerdekaan pers, ada kaitannya dengan bangkitnya kembali kesadaran bahwa kemerdekaan pers merupakan suatu keharusan dalam negara yang menganut kedaulatan rakyat. Apalagi dalm suasan reformasi, kontrol pers sangat diperlukan guna membangun kembali kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik, ekonomi, serta sosial yang pada umumnya dilanda krisis kepercayaan. Pesta pora kemerdekaan pers era reformasi, ditafsirkan dalam arti yang berbeda oleh beberapa praktisi pers. Ada beberapa oknum yang lupa terhadap koridor hukum pers dan etika pers. Praktik jurnalistik banyak menuai kritik, keluhan, kecaman pedas, dari berbagai kalangan. Hal ini disebabkan oleh maraknya pemberitaan provokasi, pembunuhan karakter, berita bohong, merebaknya iklan yang tidak memenuhi standar, serta banyaknya wartawan pemeras dengan menggunakan identitas wartawan.
Masalah yang lebih serius adalah intervensi politik dalam dunia pers. Di Indonesia, hal ini sangat kentara. Mari kita kembali tengok Pemilihan Presiden Indonesia tahun 2014. Yang terjadi bagaikan sebuah perang media antara masing-masing pendukung calon. Salah satu media terkesan menyanjung-nyanjung salah satu pasang calon. Begitu pula sebaliknya, Media lawan memuji dan menciptakan citra baik bagi lawan sang calon. Dalam Kode Etik Jurnalistik ditentukan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan. Kode Etik Jurnalistik juga memuat prinsip anti suap agar tidak mempengaruhi obyektivitas. Penggunaan media massa sebagai sarana kampanye atau sebagai alat kepentingan politik ataupun sebagai juru bicara kekuasaan ekonomi bukanlah hal yang baru dalam era modern. (Wikarma, 2005).
Pembelian saham-saham perusahaan media massa oleh para konglomerat terlebih lagi oleh Politisi, tidaklah semata-mata karena prospek bisnis media, tapi juga dalam rangka kepentingan kebesaran bisnis dominannya, dan karier Politiknya. Media-media dalam Grup Bakrie contohnya kurang kritis terhadap persoalan lumpur Lapindo. Begitu pula keberpihakan politik para bos media massa mempunyai pengaruh terhadap independensi media massa tersebut. Disinilah Idealisme para wartawan dipertanyakan. Kode Etik semacam bersikap independen, menghasilkan berita akurat dan berimbang, serta tidak beritikad buruk masih seharusnya menjadi pegangan dan dijunjung tinggi oleh para praktisi pers Indonesia. Orang yang hidup kesusahan mungkin tidak takut mati, tapi imannya bisa roboh ketika di depan matanya diletakkan cek atau giro atau tuyul atau faktor apa saja yang bisa membuatnya kaya mendadak. Wartawan merupakan pekerjaan yang dapat dibilang sangat berjasa. Bahkan dapat disebut sangat berhaya juga. Tidak sedikit praktisi pers yang mengalami ancaman pembredelan, teror, bahkan pembunuhan. Butuh lebih dari sekedar keberanian untuk berkecimpung di dunia tersebut.
Namun apa jadinya apabila para praktisi pers dihadapkan dengan kebutuhan yang mendesak. Kebutuhan hidup di zaman seperti sekarang ini benar-benar sulit. Mencari pekerjaan tidak semudah membalikan telapak tangan. Praktisi pers dihadapkan dengan pilihan, harus kembali berjuang untuk mencari pekerjaan, atau menuruti perintah sang bos. Sudah bukan rahasia umum, media, bahkan sekelas media elektronik, sudah diitervensi oleh para pemiliknya menjadi alat politik. Para wartawan yang sekaligus menjadi praktisi pers dipaksa melanggar kode etik yang selama ini dijunjung seperti independen, akurat, dan tak beritikad buruk. Idealisme wartawan yang selama ini dikagumi semakin meluntur.
Di Indonesia, bahkan seluruh dunia, Politik sudah lama mengintervensi dunia pers. Mereka menyadari kekuatan pers yang mampu menjadi doktrin masyarakat. Pepatah mengatakan “Kebohongan yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi kebenaran.”. Perbedaanya antara masa sebelum reformasi dan setelah reformasi adalah, Pembelengguan dan Pembebasan pers. Pada masa sebelum reformasi, Kesadaran akan besarnya kekuatan Pers dilakukan dengan langkah represif. Membatasi, sensor, dan membelenggu kebebasan Pers. Berbeda dengan kebijakan sebelum era reformasi, era setelahnya justru menjadikan pers sebagai tunggangan. Pers bahkan terkesan menjadi lebih dimanfaatkan oleh para pemiliknya yang notabene seorang politisi juga. Hal ini semakin terlihat tatkala terjadi pemilihan umum. Pesta demokrasi benar-benar menjadi ajang persaingan tidak sehat antar media dan tim sukses masing-masing calon. Kita sering menyebutnya dengan kampanye hitam.
Ketika berbicara tentang media massa, media penyiaran Televisi misalnya, maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung, Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, Lativi dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri. Singkat kata, nama-nama pemilik media yang disebutkan di atas tadi merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan dan beberapa di antara ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan tokoh penting pada salah satu partai yang sekian lama berkuasa di republik Ini. Tidak menutup kemungkinan mereka membangun Media untuk memuluskan kepentingannya dalam bidang politik dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media.
Intervensi Politik hanyalah satu dari sekian banyak kebobrokan dunia pers dan penyiaran negara kita. Banyak hal-hal lain yang ternyata menjadi penyakit media kita. Penyakit itu antara lain acara-acara televisi yang tidak mendidik, bahkan cenderung membodohi publik. Acara-acara yang menjadi suguhan setiap keluarga di rumah justru tidak dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat. Seakan para praktisi Pers dan penyiaran di negara kita ini hanya berorientasikan uang. Yang terpenting adalah rating yang tinggi. Mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Tidak peduli dampak yang ditimbulkan dengan adanya acara tersebut.
Kembali, Idealisme para praktisi Pers mulai dipertanyakan. Masyarakat masih berharap, media Indonesia tidak sepenuhnya rusak. Tidak semuanya terjerumus kedalam hedonisme. Uang dan keuntungan tidak menjadi tujuan utama. Kode Etik Jurnalis harus dijunjung tinggi. Berikan masyarakat acara hiburan yang menarik dan mendidik. Sajikan kepada masyarakat berita yang akurat, tidak memprovokasi, tidak menjelek-jelekan, dan bukan sebagai alat kampanye kendaraan politik. Keberanian melawan perintah keliru atasan. Keberanian untuk siap menjungjung etika. Keberanian untuk memberikan kebenaran kepada masyarakat. Kedigdayaan media dalam membangun bangsa, terlihat dari ranah media yang tersaji bahkan sampai setiap sudut ruang keluarga. Apabila Para Praktisi pers, baik itu pelaku maupun konsumen informasi dan komunikasi kembali berpikir tentang tujuan luhur bangsa, maka dunia pers yang mulai tercoreng citranya ini, seharusnya kembali kepada tujuan utama pers, yaitu memberikan kebenaran bagi masayrakat.
Menuju generasi emas Indonesia 2045, pendidikan dan persiapan generasi muda harus dimulai dari sekarang. Anak-anak kecil saat inilah yang kelak menjadi pemimpin bangsa. Pers yang mempunyai ranah luas bahkan sampai menyentuh seluruh lapisan masyarakat dari atas sampai ke bawah, sudah semestinya menjadi bagian dari sarana penunjang persiapan generasi emas tersebut. Bersihkan pers intervensi politik dan kepentingan-kepentingan lain yang tidak sesuai dengan amanah undang-undang. Bersihkan pers dari Praktisi-praktisi tak berhati nurani.      

Referensi

Abidin, Wikrama Iryans. 2005. Politik Hukum Pers Indonesia. Jakarta : Grasindo.
Mallarangeng, Rizal. 2010. Pers Orde Baru. Jakarta : Gramedia. 
http://www.konfrontasi.com/content/opini/media-dan-pers-di-indonesia-intervensi-modal-dan-majikan-dalam-regulasi-dan#sthash.D3sWE63h.dpuf 

No comments:

Powered by Blogger.