Perselingkuhan Kaum Leftist dengan Islam di Dunia Barat
Sejak
pertama dipopulerkan pada masa Revolusi Prancis, Istilah Sayap Kanan dan Sayap
Kiri spektrum politik selalu mengalami perkembangan dan perubahan pada setiap
zamannya.
Sayap
kanan, pada mulanya merupakan term bagi golongan pendukung rezim lama monarki
Prancis karena pada saat itu mereka duduk di samping kanan dalam lembaga
legislatif. Mereka juga sering disebut kaum Konservatif atau kaum Pro Satus
Quo. Istilah sayap kiri diidentikan
dengan golongan Revolusioner, Progresif, dan Pro Perubahan.
Sejarah
memperlihatkan kemenangan kaum kiri di Prancis ditandai dengan meletusnya
Revolusi Prancis dan Runtuhnya Monarki Prancis menjadi Republik.
Kaum
kanan dan Kaum Kiri ini sering diidentikan dengan dua spektrum Ideologi besar.
Kapitalisme dan Komunis-Marxisme. Setidaknya sampai berlangsungnya perang
dingin antara AS dan Uni Soviet dua spektrum tersebut dapat disebut sebagai
representasi dari Kaum Kanan dan Kiri.
Perkembangan
Istilah ini menjadi semakin radikal saat memasuki abad ke 20. Istilah Sayap Kanan (Rightist) dan Sayap Kiri (Leftist) di dunia Barat mulai mengalami
pergeseran. Rightist kini direpresentasikan oleh Kaum Konservatisme saja.
Sedangkan Leftist merujuk kepada golongan Liberal, Sosialis, dan Progresif.
Di
Amerika Serikat Partai Republik yang konservatif dapat digolongkan kepada kaum
kanan. Sedangkan Partai Demokrat cenderung berada pada posisi Kiri.
Penggolongan ini disimpulkan berdasarkan platform, kebijakan, pemosisian diri
kedua partai tersebut.
Ada
beberapa isu dimana kedua partai ini sangat berseberangan dalam menyikapinya.
Diantaranya, Penggunaan Senjata, Aborsi, Pernikahan sesama jenis, Imigrasi,
Anarko-Feminisme tentang rentang gaji pria wanita, Rasisme, kebijakan pajak
rendah bagi korporasi hingga Pernikahan sesama jenis dan Islamophobia.
Dua
isu terkahir inilah yang menjadi dasar penulisan artikel ini, yaitu pernikahan
sesama jenis dan Islamophobia. Kedua isu ini memang sedang booming tidak hanya
di dunia barat saja tapi merata di seluruh Dunia.
Pertama,
kita lihat bagaimana kaum konservatif partai Republik bersikap terhadap kedua
isu ini. Kaum konservatif dan agamawan religius yang mayoritas mengisi partai
ini, jelas sangat menolak pernikahan sejenis. Selain karena dapat merusak
tatanan sosial, kaum ini percaya bahwa gender dan sex adalah dua hal yang tidak
bisa dipisahkan. Seseorang tidak bisa mengatakan dirinya adalah perempuan
karena dia merasa adalah perempuan. Padahal dalam kromosomnya sejak lahir
terdapat kromosom Y di dalamnya yang berarti dia adalah laki-laki.
Undang-undang
pernikahan sesama jenis telah disahkan di AS. 26 Juni 2015, Supreme Court AS
memutuskan bahwa Konstitusi AS menjamin pernikahan sesama jenis. Hakim Agung
Kennedy sebagaimana dikutip harian New York Times mengatakan “They ask for
Equal dignity in the eyes of the law, the constitution grants them that rights”.
Hal
tersebut menandakan kemenangan golongan kiri dalam isu ini. AS bukan negara
pertama yang menyetujui perkawinan sesama jenis ini. Negara-negara lain di
Barat, semisal Belanda telah lebih dulu melakukan hal serupa.
Disetujuinya
pernikahan sesama jenis ini tidak menunjukan bahwa semua warga AS menyetujui
pernikahan sesama jenis. Golongan pendukung dan penentang pernikahan sesama
jenis ini dapat dikatakan berimbang. Tentu saja penolakan terhadap pernikahan
sesama jenis ini dipelopori oleh kaum konservatif masing-masing negara,
termasuk Indonesia, yang diwakili oleh kelompok agamawan non-progresif.
Isu
yang menciptakan krisis logika serius adalah isu kedua dari pertentangan dua
golongan ini, yaitu isu Islamophobia. Kaum Leftist yang mulai bergerak dari
Marxisme ke arah Liberalisme baru yang cenderung Sosialis ini memiliki
pandangan bahwa tujuan utama manusia adalah dicapainya kebebasan. Kebebasan
yang tanpa batas. Bahkan cenderung Anarkisme, yang merujuk pada dikurangi atau
dihilangkannya kekuasaan pemerintah.
Meningkatnya
konflik di beberapa negara timur tengah yang mayoritas muslim. Membuat
masayarakat berusaha untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Dalam satu
dekade terakhir, terjadi gelombang imigran yang datang dari kawasan ini ke
eropa dan amerika. Sikap pemerintah masing-masing negara sangat dipengaruhi
oleh platform politik partai yang sedang berkuasa.
Di
Eropa Barat misalnya, Angela Merkel, Kanselir Jerman dari partai Christlich
Demokratische Union (CDU), Partai Persatuan Demokrat Kristen membuka gelombang
besar-besaran bagi para Imigran timur tengah karena dikelilingi koalisi semisal
partai Freie Demokratische Partei (FDP) Partai Demokrat Bebas dan Sozialdemokratische
Partei Deutschlands (SPD) Partai Sosial Demokrat Jerman di pemerintahan.
Perdana
Menteri Kanada dan Presiden Prancis yang juga seorang Liberal Kiri bahkan
secara terang-terangan menyambut dan mempersilakan para Imigran yang ingin
mencari penghidupan baru di negaranya. Ideologi Kaum Leftist tentang kebebasan
ini ditentang habis-habisan oleh kaum konservatif masing-masing negara.
Sayangnya, terminologi Islamophobia yang diarahkan kepada kaum konservatif
menjadi salah satu senjata andalan kaum Leftist untuk memenangkan Argumen.
Kaum
konservatif yang menginginkan kebijakan imigrasi ketat untuk menghadang
gelombang imigran dari timur tengah, sering dianggap sebagai Islamophobia oleh
Kaum Leftist. Menurut Leftist, Islamophobia ini bagian dari diskriminasi dan
dianggap menentang konstitusi dan amandemen AS yang menjamin kebebasan. Sayang,
kemenangan Trump atas Hilary menandakan bahwa Kaum Konservatif ini masih kuat
di Amerika Serikat.
Diakui
atau tidak, kaum leftist ini lah yang bahu membahu melindungi hak-hak Muslim
untuk bertahan di dunia barat. Kita dapat melihat sendiri bagaimana
kampanye-kampanye dan demonstrasi kaum LGBT juga mengikutsertakan kampanye
Anti-Islamphobia serta kampanye dukungan terhadap umat muslim disana yang
mayoritas adalah seorang imigran.
Terakhir
ketika Pemerintah Prancis hendak melarang penggunaan burka di tempat umum, kaum
leftist juga yang ikut melakukan penolakan terhadap aturan yang mereka anggap
diskriminatif ini.
Ironi
terjadi ketika di Indonesia, dan saya yakin seluruh umat muslim di dunia,
justru mengkampanyekan tentang penolakan terhadap pernikahan sesama jenis.
Sementara disana, justru kaum leftist inilah yang menjadi pendukung umat muslim
untuk bertahan di negara-negara eropa barat dan amerika.
Perselingkuhan
ini, lebih jauh bahkan membuat seorang politisi dan anggota parlemen Inggris, George
Galloway, untuk mendapatkan dukungan imigran muslim, menyatakan diri masuk
Islam. Ketika diminta konfirmasi tentang isu tersebut, Galloway hanya menjawab "Saya
tidak menjawabnya. Tuhan tahu, siapa itu seorang Muslim".
Permasalahan
sebenarnya disini adalah Kaum Sayap Kiri dan Umat Islam memiliki platform dan
objektif yang sangat jauh berbeda satu sama lain. Bahkan dalam beberapa isu,
keduanya bahkan bertentangan.
Sebut
saja pernikahan sesama jenis. Mayoritas muslim di dunia menganggap bahwa
pernikahan sesama jenis adalah dosa dan haram. Dalam satu isu ini saja, kedua
aliansi ini sudah bertentangan.
Ketika
seseorang adalah seorang leftist dan liberal, kemudian di satu sisi ia
mendukung LGBT sekaligus Muslim, sedangkan muslim adalah golongan penolak LGBT,
apa yang harus ia lakukan?
Lalu
jika dibalik, Ketika seseorang adalah muslim, di satu sisi ia perlu dukungan
untuk bertahan di negara barunya, dan dukungan itu datang dari kaum leftist,
namun sebagai muslim yang taat ia juga menolak dengan tegas pernikahan sesama
jenis yang merupakan salah satu agenda kaum leftist, apa yang harus ia lakukan?
Islam
secara hakikat adalah kaum konservatif. Sekalipun beberapa golongan muslim
menegaskan diri mereka progresif, tetap saja mereka tidak bisa tidak
mengindahkan syariat-syariat keislaman yang kebanyakan sudah sangat baku.
Nilai-nilai teguh dalam syariat Islam, menghindarkan dan meminimalisasi muslim
untuk menerima hal-hal baru dari kaum liberalisme.
Islam
dan Liberalisme Kiri sangat tidak kompatibel. Kaum sayap kiri harus berpikir
kembali bahwa tidak ada yang dinamakan kebebasan penuh. Ada beberapa nilai
konservatif yang harus dijaga. Islam tidak bisa digolongkan ke dalam dua
golongan tersebut. Karena Baik Kaum sayap kiri maupun sayap kanan memiliki
beberapa nilai yang tidak sesuai dengan Islam.
Namun,
seperti apapun pendapat dan opini yang bertebaran, faktanya adalah di negara
eropa dan amerika, Kaum leftist dan Umat Islam beraliansi.
Ken Livingstone, mantan walikota Trotskyite di
London, secara langsung memeluk pemikir
Islam terkemuka Yusuf al-Qaradawi. Ramsey Clark, mantan jaksa agung A.S,
mengunjungi Ayatollah Khomeini dan menawarkan dukungannya.
Noam
Chomsky, mengunjungi pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah dan mendukung
Hizbullah untuk tetap berjuang. Ella Vogelaar, menteri perumahan, pemukiman,
dan integrasi Belanda, sangat bersimpati pada Islamisme. Ia dikritik oleh
kritikus, profesor kelahiran Iran Afshin Ellian, yang memanggilnya
"Menteri Islamisasi".
Dennis
Kucinich, dalam kampanye kepresidenan pertamanya di tahun 2004, mengutip
Alquran dan membangkitkan pendukung Muslim untuk mengucapkan "Allahu
akbar" dan dia bahkan mengumumkan, "Saya menyimpan salinan Alquran di
kantor saya."
Spark,
surat kabar pemuda partai Buruh Sosialis Inggris, memuji Asif Mohammed Hanif,
pelaku bom bunuh diri Inggris yang menyerang sebuah bar Tel Aviv, sebagai
"pahlawan pemuda revolusioner" yang telah menjalankan misinya
"dengan semangat internasionalisme." Workers World, sebuah surat
kabar Komunis Amerika, memuat sebuah obituari yang memuji anggota Hizbullah,
Imad Mughniyeh.
Beberapa
kaum kiri bahkan lebih jauh lagi. Carlos sang Jackal, Roger Garaudy, Jacques
Vergès, Yvonne Ridley, dan H. Rap Brown, benar-benar masuk Islam. Yang lainnya
merespons dengan penuh kegembiraan terhadap Islamisme. Komposer Jerman
Karlheinz Stockhausen menyebut 9/11 "karya seni terbesar untuk seluruh
kosmos," sementara novelis Amerika mendiang Norman Mailer menyebut pelaku
9/11 sebagai "brilian."
Sumber Bacaan
No comments: