Reviewed by Hilman
on
February 07, 2023
Rating: 5
Latest Post
Sudah Lama Aku Tidak Menulis Puisi
(c) Behance: Iladya Avci |
Sudah lama aku tidak menulis puisi. Menimba
percikan-percikan perasaan dari dalamnya sumur hati ke pikiran di kepala, untuk
seterusnya ia keluar sebagai kata-kata. Sudah lama sumur itu mengering, entah
sebabnya.
Entah karena sudah lama tidak diguyur hujan perhatianmu. Atau
karena pohon-pohon asmara di sekitarnya yang sudah kutebang hingga ia tak mampu
lagi meyerap air yang jatuh. Yang pasti, hari ini tidak hujan dan pohon di
sekitarnya telah tiada.
Rasa penyesalan itu selalu ada. Sebagaimana diriku menyesal
saat kurobohkan pohon asmara di kebun emosi itu satu persatu. Sempit, kataku
saat itu. Sinar matahari kebebasan tidak bisa merayap ke dalam rumah logika
melalui jendela pertimbangannya.
Pohon itu tepat berada di depan jendela rumahku. Oksigen yang
kuhirup darinya setiap waktu tidak bisa mengalahkan hasratku akan cahaya
mentari. Kutebang, kugergaji, dan kubuang pohon asmara itu.
Sudah lama aku tidak menulis puisi. Sehari, Dua hari.
Sebulan, Dua Bulan. Setahun, Dua Tahun. Sumur hati itu tak berair lagi. Padahal
hujan perhatian darimu masih turun sebagaimana mestinya. Nampaknya air yang
jatuh tak lagi terserap. Ia hanya membasahi tanah, menuju sungai hingga kembali
ke tempat asalnya, Laut Cintamu.
Kugadaikan air yang jernih dengan cahaya mentari. Kuabaikan
hujan perhatian dengan sebuah kehangatan. Kubuang keteduhan untuk kunikmati
kebebasan.
Dan dug! Hal yang kutakutkan terjadi. Terdengar bunyi ember
plastik beradu dengan tembok dan tanah yang tandus. Sumur hatiku benar-benar
kering. Percikan-percikan perasaannya biasa kugunakan sebagai tinta untuk
menulis sebuah puisi. Hujan darimu pun tak datang lagi.
Engkau tak lagi menyanjung mentari. Meski konon ialah yang
mampu menerbangkan laut cintamu ke angkasa sebagai awan-awan, untuk jatuh
dipelukanku sebagai kesejukan. Kau marah padanya, memunggunginya, dan tak lagi
bicara padanya.
Sudah lama aku tidak menulis puisi. Bagaimana mungkin menjadi
balad kalau perasaan tak terisi? Ia bukan lagi emosi yang tertahan di
kerongkongan. Ia sudah tertimbun pasir-pasir waktu dan sebuah perasaan yang
masih belum bisa memaafkan.
Bagaimana mungkin menggali sumur lain bila seluruh negeri
tak lagi kau sirami? Ia bukan lagi kemarau musiman di pertengahan tahun. Ia
sudah menjadi iklim gurun di padang pasir dan seorang sosok yang hanya bisa
tersenyum getir.
Aku berpikir, bibit harapan yang kubeli pagi ini bisa
menjadi kunci. Untuk kutanam tepat di depan jendela rumahku lagi. Tak apa ia
menghalangi sinar mentari. Selagi aku bisa menulis puisi kembali.
Kutunggu hujanmu untuk mengguyur sumur hati ini. Seseorang
tanpa amarah di dalam dadanya. Untuk diriku mengharap kata maaf kuucapkan di
depan kedua bola matamu. Agar hatiku dan hatimu tersenyum kembali menatap
mentari bersama-sama.
Sudah Lama Aku Tidak Menulis Puisi
Reviewed by Hilman
on
May 20, 2020
Rating: 5
Machiavellian sejati, Joker atau Thanos?
Baik peradaban barat maupun
peradaban timur, masing-masing memiliki ciri khas klasik dalam alur cerita rakyatnya.
Meskipun tidak semuanya, namun kebanyakan cerita rakyat yang diturunkan secara
lisan di dunia barat memiliki satu kesamaan corak, yaitu corak hitam dan putih.
Selalu dapat ditarik
garis perbedaan yang jelas antara si jahat dan si baik, antara tokoh protagonis
dan antagonis. Kita yang mendengarkan dapat mengambil kesimpulan secara
langsung siapa yang harus kita dukung. Dan diakhir cerita, tentu saja si jagoan
hidup bahagia dan penjahat mati atau sengsara. Sebut saja kisah Cinderella,
Putri Salju, ataupun kisah Pinokio.
Jika kita lebih
memperhatikan cerita rakyat di peradaban timur, maka akan terlihat bahwa garis
hitam dan putih sangat mengambang bahkan cenderung abu-abu. Mari kita tengok
kisah Mahabarata. Perang besar antara Pandawa dan Kurawa. Siapapun yang
mendengar cerita nya akan memiliki keberpihakan kepada tokoh yang berbeda.
Ada yang memilih,
Pandawa, ada Kurawa, ada yang lebih condong Pada satu tokoh seperti Arjuna atau
Yudhistira. Ada yang mendukung Pandawa tapi juga bersimpati pada Kurawa, dan
lain sebagainya. Selalu tidak jelas garis perbedaan antara si jagoan dan si
penjahat. Namun tentu saja selalu ada kecenderungan kebaikan pada pihak
tertentu.
Zaman Sinema Modern
Dari drama Shakespeare Romeo
dan Juliet hingga drama TV modern Cowboy dan Zorro pada awal 1900-an, biang
keladi jahat yang selalu menghalalkan segala cara sudah menjadi tipe karakter
yang kita suka untuk dibenci. Sangat lazim, faktanya, selama berabad-abad orang
barat punya satu kata untuk mendeskripsikan karakter semacam itu:
Machiavellian.
Ketenarannya yang kekal
datang dari esai politik singkat, The Prince, dianggap sebagai nasihat untuk
raja yang sedang berkuasa dan masa depan. Machiavelli tidak berusaha
mendeskripsikan pemerintahan yang ideal atau mendorong pembacanya untuk
memerintah dengan adil dan baik. Alih-alih, ia berfokus pada pertanyaan akan
kekuasaan bagaimana mendapatkannya dan bagaimana mempertahankannya.
Shakespeare menggunakan
"Machiavel" untuk menunjukkan seorang oportunis tak bermoral yang
membawa kita sampai ke penggunaan populer dari "Machiavellian" sebagai
sinonim dari kejahatan manipulatif.
Namun, corak hitam dan
putih dan bagaimana kita memandang penjahat ini berubah setelah munculnya film
berjudul A Clockwork Orange pada tahun 1971. Narasi dalam film ini menyuguhkan
sisi lain dari penjahat, sisi yang menumbuhkan simpati bagi penontonnya.
Hollywood mulai berubah
setelah gebrakan film dari sutradara Stanley Kubrick tersebut. Penjahat bukan
hanya sosok yang tiba-tiba menjadi jahat dan tanpa tujuan baik. Beberapa penjahat
justru lahir karena sebab menjadi korban kejahatan. Beberapa penjahat bahkan
justru sangat Machiavellian, menggunakan cara apapun untuk mencapai kebaikan
yang diinginkan.
Penjahat kini bukan
hanya anjing yang mengejar bola lalu membuang nya setelah mendapatkannya.
Penjahat kini bukan hanya menyerang fisik dari tokoh utama, ia mulai menyerang ide,
visi dan eksistensi dari keberadaan tokoh utama itu sendiri. Ia memberikan
tantangan kepada nilai-nilai yang dianggap oleh tokoh utama sebagai kebenaran
yang mutlak dengan menawarkan nilai yang baru yang juga dapat diperdebatkan.
Thanos vs Joker
Beruntung kedua Villain
ini berada pada Universe yang berbeda. Karena seorang tokoh utama yang
memiliki Villain yang cocok dan sesuai dengan kemampuan dirinya belum
tentu cocok dengan Villain lain. Joker sangat sesuai dengan kemampuan
Batman, Ia tau Batman punya satu peraturan paling dasar, Ia tidak membunuh.
Maka keduanya akan melahirkan pertempuran-pertempuran seru dengan batasan
masing-masing. Jika Joker menjadi Villain pada tokoh utama lain, dia
bisa saja mati dalam satu serangan.
Lalu antara Joker dan
Thanos, siapakah yang lebih pantas disebut sebagai Machiavellian sejati?
Ada satu saran
Machiavelli yang paling terkenal untuk penguasa, "lebih aman ditakuti
daripada dicintai." Machiavelli memahami kenyataan pelik: kebaikan yang
lebih besar dari kestabilan politik sebanding dengan taktik kotor apapun yang
diperlukan untuk memperolehnya.
Filsuf Isaiah Berlin
mengatakan bahwa Machiavelli bukannya tidak bermoral, The Prince kembali ke
moralitas zaman Yunani kuno, meletakkan kejayaan negara di atas ideal Kristen
tentang keselamatan individu. Baik Yahudi, Kristen, maupun Islam punya satu
nilai universal yang sama-sama menggebrak pada masanya, yaitu bahwa nyawa
individu itu sangat bernilai. Nyawa seorang Raja sama dengan nyawa seorang
budak.
Thanos memiliki tujuan
yang baik, memberikan keseimbangan pada alam semesta. Alam semesta yang dia
anggap sudah melebihi batas populasi, harus diseimbangkan kembali dengan
memusnahkan separuhnya. Untuk siapa memusnahkan separuhnya? Untuk separuhnya
lagi yang tidak dimusnahkan.
Sama seperti
Machiavelli, Thanos tidak memberikan penghargaan pada nyawa individu. Dia
berbicara tentang masalah kolektif. Bahwa seseorang harus bertindak untuk
menyelesaikan masalah ini. Sekalipun mengorbankan sesuatu dengan skala yang
besar.
Kita dapat melihat kasus
wabah PES di eropa, atau yang sering disebut wabah hitam. Memusnahkan satu
pertiga hingga dua pertiga warga eropa pada pertengahan hingga akhir abad ke-14.
Dibalik tragedi tersebut, terdapat keuntungan tersendiri bagi warga eropa.
Tersedianya sandang, pangan dan papan yang melebihi jumlah populasi. Tidak ada
lagi manusia kelaparan dan tidak ada lagi manusia pengangguran. Kemajuan pun
lebih mudah diraih karena kesejahteraan individu sudah diraih.
Thanos menantang ide kebernilaian
nyawa individu dengan keseimbangan alam. Seperti Machiavelli, ia kembali pada
moralitas yunani kuno, dan mengesampingkan nilai yang dibawa oleh agama samawi.
Joker sendiri tidak
memiliki latar belakang kisah atau sebab utama munculnya nilai yang ia miliki
saat ini sebagaimana Thanos memiliki kisah awal yang menjadi inspirasinya. Ia
sendiri sebagai penghuni rumah sakit jiwa Arkham Asylum secara kejiwaan dapat
dikategorikan sebagai orang gila. Namun ide yang dibawa orang gila ini juga
sama mengancam nya pada eksistensi sang pahlawan.
Batman sangat
mengimpikan Law and Order, Ketertiban dan Keteraturan. Ia tahu bahwa
institusi penegak hukum tidak mampu mencapainya. Oleh karena itu ia memutuskan
untuk main hakim sendiri kepada para penjahat dengan satu pertaturan, ia tidak
boleh membunuh.
Joker menawarkan ide
bahwa Ketertiban dan Keteraturan itu hanyalah utopia. Batman harusnya tau bahwa
para kriminal itu juga berlindung dibalik Law and Order. Tidak ada satu
orang pun penjahat yang menginginkan chaos. Chaos hanya akan menjatuhkan
jaringan mereka, sebagaimana menjatuhkan tatanan pemerintahan.
Joker memandang bahwa
Manusia itu dasarnya Homo Homini Lupus. Manusia pada dasarnya adalah
seorang penjahat. “When the chips are down, These Civilized People will eat
each other.” Hukum dan Moral manusia itu adalah lelucon. Bagaimana bisa
kematian satu batalyon tentara tidak lebih mengharukan dari kematian seorang
anak balita. Karena tentara memang harus siap untuk mati sedang anak balita
tidak. Siapa yang menentukan Moral semacam itu? Manusia itu sendiri. Itulah
Lelucon.
Joker menginginkan
hilangnya hukum dan moral. Chaos adalah jawaban dari segala permasalahan
di dunia ini. Satu hal yang membuat Chaos berbeda dari yang lain adalah
karena ia Fair, adil. Siapapun bisa berbuat apapun yang dia mau kepada
siapapun. Siapapun bisa memiliki barang yang dimiliki siapupun. “The only
sensible way to live is without rule.”
Joker dan Thanos adalah
dua dari sekian banyak Villain gaya baru pada cerita dunia barat.
Keduanya tidak hanya jahat, namun memiliki nilai yang ditawarkan untuk
mendobrak nilai lama konservatif status quo.
Namun, dari pemaparan di
atas, kita dapat ambil kesimpulan bahwa Thanos dapat dikategorikan sebagai
Machiavellian sesungguhnya dibandingkan dengan Joker. Ciri utamanya adalah
Pengorbanan sesuatu dengan cara apapun untuk tujuan yang lebih baik.
Machiavelli yang meninggikan ketertiban tentu saja tidak sesuai dengan nilai
Joker yang lebih Chaotic. Joker lebih cenderung sebagai panglima anarki.
Machiavelli mungkin
sudah menulis sebuah panduan untuk penguasa yang tiran, tapi dengan
membagikannya, ia juga berbagi rahasia dengan mereka yang dikuasai. Dalam
melakukannya, ia merevolusi filosofi politik, meletakkan dasar untuk Hobbes dan
para pemikir masa depan untuk mempelajari hubungan manusia berdasarkan
kenyataan yang konkret daripada ideal yang berprasangka. Lewat kejujurannya yang
brutal dan mengejutkan, Machiavelli berusaha menghancurkan delusi populer
tentang kekuatan yang diperlukan. Ia berharap orang-orang akan "belajar
cara ke neraka agar bisa lari dari sana."
Machiavellian sejati, Joker atau Thanos?
Reviewed by Hilman
on
May 07, 2019
Rating: 5
Partai Indonesia yang Mencle Kanan Mencle Kiri
Saya sendiri
sempat bingung mengenai istilah partai sayap kiri dan sayap kanan ini. Di
Indonesia istilah ini sangat tidak populer. Padahal hampir di seluruh dunia,
ketika seseorang ingin mengidentifikasi suatu partai, maka hal pertama yang
ditanyakan adalah posisi partai tersebut pada spektrum ideologi politik.
Pancasila
tetap sebagai Dasar Utama. Selagi tidak ada yang nilai-nilai yang bertentangan
dengan Pancasila, Idealisme apapun di bawah nya dapat menjadi platform partai.
Namun, untuk
mengklasifikasikan partai-partai yang ada di Indonesia seperti yang populer
dilakukan di seluruh dunia, ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Sulit karena
idealisme partai kebanyakan tersirat dalam nilai-nilai platform partai. Karena
secara tersurat, selain PKS dan PBB (Islam), juga PDIP (dengan tambahan Marhaenisme)
mengklaim sebagai Partai berdasar Pancasila saja. Maka, untuk memetakan
spektrum politik partai Indonesia, tidak ada yang akurat.
Mari kita
mulai dari perspektif teori.
Beberapa partai
di Indonesia dibangun di atas fundamental sayap kiri atau
fundamental sayap kanan. Namun, dalam kenyataannya, ternyata masing-masing partai
setidaknya memiliki kecenderungan sedikit
ke kiri dan ke kanan.
Sulit
untuk mengklasifikasikan mereka, oleh karena
itu,
kita lihat terlebih
dahulu definisi kiri kanan
menurut Amerika Serikat.
Sayap Kiri:
Perdagangan yang adil, Egalitarianisme, Kesetaraan (Equality), Pengaturan
Ekonomi, Pajak yang ketat, Komunitas yang menjunjung etika, inklusif, dan
sekuler (dalam pengertian non-relijius).
Sayap
Kanan: Perdagangan bebas, Meritokrasi, Kekayaan, Deregulasi ekonomi, Perpajakan
yang longgar, komunitas yang menjunjung moral, eksklusif, dan
relijius.
Kemudian dengan menggunakan prinsip
yang sama, kita coba klasifikasikan partai-partai di Indonesia.
Kita
mulai dengan partai-partai sayap
kiri dulu.
Politik
sayap kiri adalah posisi atau kegiatan politik yang menerima atau mendukung
persamaan sosial dan egalitarianisme, sering bersebrangan
dengan hierarki sosial dan ketidaksetaraan sosial. Sebagian besar sekuler atau non relijius.
Prinsip
ini sejalan dengan Komunisme, Sosialisme, dan sampai batas tertentu,
Marhaenisme. Sebuah partai yang
cocok dengan deskripsi ini adalah PDI-P (Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan).
Hanura,
Gerindra (awalnya didirikan atas dasar ini, tetapi kemudian seiring
waktu menjadi bergeser
atau berpindah posisi), dan partai lain seperti Partai Buruh, PNBK, PNI
Marhaen, dll.
Kemudian
sayap kanan.
Politik
sayap kanan adalah posisi atau aktivitas
politik yang melihat beberapa bentuk stratifikasi sosial atau ketidaksetaraan
sosial sebagai sesuatu yang tak terelakkan, wajar, normal, atau diinginkan.
Sebagian besar religius.
Prinsip
ini sangat cocok dengan beberapa partai Islam dan, Partai Demokrat (yang sebenarnya berada di tengah) cenderung lebih kanan-tengah daripada
kiri. Partai yang benar-benar berada di ujung sayap kanan sepertinya hanya PKS dan PBB. Sedangkan
sisanya lebih ke sayap kanan bagian tengah,
seperti PKB dan PAN.
Tetapi
apakah itu yang benar-benar terjadi di lapangan?
Tidak juga.
Mengapa?
Kita masuk
pada perspektif praktis.
Pemilu di
Indonesia memiliki corak nya sendiri
berbeda. Dalam pemilu pada negara demokrasi
yang matang, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan sebelum memilih
calon:
Ideologi Kandidat
Visi Misi dan Program kandidat
Kepribadian calon yang bersangkutan. (terkadang ditambah "faktor x" seperti suku, ras atau agama)
Ideologi Kandidat
Visi Misi dan Program kandidat
Kepribadian calon yang bersangkutan. (terkadang ditambah "faktor x" seperti suku, ras atau agama)
Begitu urutannya.
Ambil
contoh, Setiap kali calon presiden Amerika Serikat
berdebat, ideologi (Demokrat versus Republik) selalu didahulukan. Selalu Merah
vs Biru mencoba mencekik satu sama lain. Kemudian masing-masing kandidat memaparkan rencana jangka pendek dan jangka
panjang, dan bagian terakhir yang dipertimbangkan oleh pemilih adalah
kepribadian dan track record kedua kandidat.
Tetapi di
Indonesia berbeda. Semuanya dalam urutan yang berbeda. Orang Indonesia
cenderung berpikir dari bawah ke atas.
Jadi urutannya, kepribadian pertama, lalu
"apa rencananya atau programnya",
dan yang terakhir adalah ideologi.
Inilah
sebabnya mengapa sulit untuk mengklasifikasikan partai-partai Indonesia termasuk ke sayap
kiri atau sayap kanan, karena
mereka terus mengubah sikap dan menyesuaikan program
kampanye berdasarkan apa yang diinginkan pemilih, karena
pemilih (kecuali fanatik PKS menurut saya)
tidak terlalu peduli dengan ideologi partainya selama ini, selagi
kandidat tampak menjanjikan.
Sebagai contoh
misalnya.
Di Jawa
Tengah, Saya ingin Ganjar Pranowo yang didukung oleh partai
sayap kiri, PDI-P untuk memenangi Pemilukada
2018. Sementara di Jawa
Barat
justru ingin Sudrajat, yang didukung oleh PKS, sebuah partai
sayap kanan untuk menang.
Bisa Terjadi
di Indonesia, dalam dua pemilihan pada tahun 2012 dan 2013,
banyak orang mendukung partai sayap kiri dan kemudian satu tahun kemudian
mereka mendukung partai sayap kanan.
Kenapa bisa
begitu? Jawabannya adalah karena mereka tidak peduli.
Mereka
tidak peduli sama sekali karena
mereka hanya melihat kandidat. Orang Indonesia tidak peduli jika Si A berasal
dari kiri atau kanan, selama ia
terlihat cakap, terlihat baik dan jujur, dan cukup menarik.
Hal ini
juga menjelaskan mengapa di Indonesia,
partai-partai itu tidak bertindak seperti apa yang seharusnya sebagai pemilik idealisme.
Di Indonesia, partai politik bertindak lebih seperti alat untuk berbagi
kekuasaan, bukan alat untuk memperjuangkan idealisme.
Sebagai
contoh, PDI-P adalah partai sayap kiri yang seharusnya memperjuangkan kesetaraan,
memberikan fasilitas yang lebih baik kepada orang miskin atau “wong cilik”, rencana
ekonomi nasionalis, "berdikari" atau
barang-barang impor yang dibatasi,
membatasi hak-hak pemilik modal,
dll.
Tapi
lihat apa yang Jokowi, representasi partai tersebut
telah lakukan:
Meningkatkan tarif angkutan umum bagi kelas bawah.
Mengimpor banyak ternak dari Australia.
Membuka pintu lebar untuk investor asing.
Mencabut Subsidi.
Menghentikan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Meningkatkan tarif angkutan umum bagi kelas bawah.
Mengimpor banyak ternak dari Australia.
Membuka pintu lebar untuk investor asing.
Mencabut Subsidi.
Menghentikan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Tidak terlihat seperti kebijakan sayap kiri, sama sekali.
Sementara
itu, PD (Demokrat) seharusnya cenderung
liberal ekonomi sayap kanan,
menegakkan pasar perdagangan bebas, menyelamatkan bisnis yang gagal (contoh Century), Meringankan cara
berbisnis, dan menarik investasi asing langsung.
Tapi
lihat apa yang telah dilakukan oleh presiden
representasi partai mereka, SBY:
Bantuan Langsung Tunai
Alih-alih pasar perdagangan bebas, mereka membatasi impor (Pada kasus tertentu).
Menghentikan ekspor bahan mentah, dll.
Bantuan Langsung Tunai
Alih-alih pasar perdagangan bebas, mereka membatasi impor (Pada kasus tertentu).
Menghentikan ekspor bahan mentah, dll.
Itu juga tidak terlihat seperti kebijakan sayap kanan.
Semua ini
terjadi karena partai politik Indonesia tidak memiliki idealisme. Setiap
keputusan ada pada mereka sendiri, dan terkadang itu semua harus menyesuaikan dengan kebijakan yang populer
atau direstui masyarakat.
Terakhir.
Bayangkan
jika hal yang sama terjadi di Amerika Serikat. Bayangkan jika Demokrat
tiba-tiba meloloskan RUU yang
mengharuskan anak-anak untuk membaca Alkitab setiap pagi. Atau tiba-tiba,
Republikan menaikkan gaji minimum atau UMR dua
kali lebih tinggi dari
yang sekarang. Orang Amerika akan menjadi shok dan terkedjoet.
Itu
memang tidak akan terjadi di Amerika
Serikat. Tetapi di Indonesia, itu mungkin.
Itulah
sebabnya sangat mungkin seorang
politisi di Indonesia untuk berganti partai
tiga atau empat kali selama kariernya (seperti beralih perusahaan). Tidak
mustahil juga bagi kader partai
seperti PDI-P untuk membuat RUU pelarangan penjualan
alkohol dengan alasan "bertentangan dengan
nilai-nilai Islam". Mungkin juga partai seperti Gerindra untuk
bergabung dengan PDI-P (sayap kiri) dalam pemilihan Jakarta 2012, namun
bergabung dengan PKS (sayap kanan) dalam pemilihan Jawa Barat 2018.
Jadi
Gerindra ini kiri atau
kanan? Tergantung. Di Jakarta, kiri. Di Bandung, kanan.
Itulah
mengapa di Indonesia, menjadi kiri atau kanan adalah teori belaka. Orang hanya
akan memilih kandidat, mengabaikan partai di belakang mereka. Ya, kecuali
mungkin PKS dan kader nya, siapapun yang disodorkan partai
akan didukung dengan militan. Jadi
Demokrasi kita belum matang atau memang coraknya seperti ini? Anda yang
menentukan.
Sumber Bacaan:
https://id.wikipedia.org/wiki/Bantuan_langsung_tunai
https://id.wikipedia.org/wiki/Marhaenisme
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/443345-tekan-defisit-perdagangan--pemerintah-batasi-impor
https://coconuts.co/jakarta/news/call-me-president-jokowi-woos-investors-world-economic-forum/
https://economy.okezone.com/read/2015/04/03/320/1128649/langkah-pemerintah-buka-keran-impor-sapi-dianggap-tepat
http://metro.news.viva.co.id/news/read/423691-jokowi--tarif-baru-transjakarta-rp5-000--metromini-rp3-000
https://news.detik.com/transisipresiden/read/2014/01/28/144026/2480675/1034/pemerintah-paksa-perusahaan-tambang-bangun-smelter
Partai Indonesia yang Mencle Kanan Mencle Kiri
Reviewed by Hilman
on
June 20, 2018
Rating: 5
Susahnya Aing Berpikir Objektif dan Hesena Memberantas Hoaks
Manusia adalah
binatang. Hanya saja ia dianugerahi akal pikiran oleh Tuhan. Ia memiliki suatu
sistem abstrak yang disebut logika. Membuatnya dapat berpikir rasional dalam
mencari jawaban setiap pertanyaan yang ada di alam semesta. Otak manusia mampu
melakukan proses yang jauh lebih cepat dari komputer yang paling modern
sekalipun.
Susahnya Aing Berpikir Objektif dan Hesena Memberantas Hoaks
Reviewed by Hilman
on
March 31, 2018
Rating: 5
Pemerhati Pohon: Sebuah Pledoi Dari Seorang Kapitalis
Reviewed by Hilman
on
March 30, 2018
Rating: 5
Menjadi Manusia Netral, Netral yang Mana?
Reviewed by Hilman
on
March 12, 2018
Rating: 5
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)