Planolog: Yang membentuk wajah kota itu bukan kami





Melihat Kota Bandung sekarang ini memang cukup menyejukan mata. Banyak taman-taman yang dibangun oleh pak wali untuk mempercantik kota Bandung ini. Mulai dari taman kecil-kecil yang tersebar di seluruh kota, hingga renovasi alun-alun yang merubah maskot utama kota menjadi tempat wisata yang menyenangkan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pak wali sebagai pembuat kebijakan yang notabene adalah seorang arsitek. Juga misi mulianya yaitu meningkatkan indeks kebahagiaan warga kota Bandung. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan rekan-rekan beberapa waktu lalu, Sejauh ini, indeks kebahagiaan kota Bandung memang meningkat. Kota Bandung yang direnovasi disana-sini selain mempercantik Kota Bandung juga memberikan rasa nyaman bagi warga yang tinggal di Bandung.
Terlepas dari efek negatif yang terjadi seperti kemacetan dan berkurangnya penghasilan para pedagang kaki lima, penataan kota adalah sesuatu yang sangat diutamakan bagi kota-kota metropolitan. Mobilisasi ekonomi yang padat hasus dibarengi penjagaan terhadap kualitas hidup di kota besar. Hal ini yang menumbuhkan rasa penasaran kami. Siapa saja sebenarnya yang memiliki pengaruh untuk membentuk wajah sebuah kota. Menurut dosen Institut Teknologi Bandung di bidang Perencanaan Tata Kota atau biasa disebut Planologi, Penataan sebuah kota adalah sesuatu yang kompleks. Planologi, dalam merencanakan tata kota harus menguasai berbagai macam disiplin ilmu. Perencanaan Tata Kota harus memperhatikan Sosiologi, Geografi, Ekonomi, bahkan Biologi juga. Tidak cukup mengandalkan ilmu eksak sebagai acuan dan modal.
Namun ada satu hal yang menarik perhatian. Dosen ini mengatakan bahwa sebenarnya pengaruh para ahli planologi sangat kecil bahkan dapat dikatakan tidak ada dalam pembetukan wajah sebuah kota. Pada awalnya memang planologilah yang merencanakan tata kota. Dalam satu hektar misalnya, berapa meter persegi dijadikan sebagai hunian, berapa luas untuk ruang terbuka hijau, bagaimana bentuk infrastruktur yang digunakan, dan dimana daerah resapan dan aliran air. Itu pada awalnya saja. Perencanaan tata kota ini tidak selalu berujung pada pembangunan yang sesungguhnya. Politik, dia bilang, adalah yang membentuk wajah sebuah kota. Lho? Betul sekali. Rancangan tata kota ideal dari planologi selalu terbentur dengan kebijakan pemerintah yang bersangkutan di suatu daerah.
Ambil contoh Alun-alun Kota Bandung. Terlepas dari efek letak Alun-alun yang berdekatan dengan masjid raya, darimana dana yang digunakan untuk mengubah wajah Alun-alun menjadi lapangan rumput sintetis tempat wisata yang menyenangkan? Bukan hanya dari APBD. Bahkan pajak tidak dapat digunakan sepenuhnya. Dana untuk pembuatan satu proyek tata kota bisa diambil dari CSR. Apa itu CSR? CSR adalah singakatan dari (Coorporate Social Responsibility). CSR adalah program pemerintah yang megharuskan setiap perusahaan untuk membantu pembangunan di daerah dimana perusahaan tersebut melakukan produksi. Program ini dilakukan karena sistem pajak yang dianggap kurang membantu dalam pembangunan. Pajak memiliki sistem satu wadah. Artinya semua hasil yang didapat dari pajak digabungkan dalam satu wadah yang kemudian dibagi-bagi untuk pembangunan setelah semuanya terkumpul. Oleh karena itulah sistem pajak di Indonesia tidak seperti sistem yang digunakan di beberapa negara eropa yang mengkhususkan asal dana pajak untuk pembangunan tertentu. Misal, Pajak Kendaraan Bermotor untuk pembangunan jalan, Pajak Bumi dan Bangunan untuk pelestarian lingkungan, dan lain sebaginya.
Salah satu keuntungan bagi perusahaan dengan diadakannya program ini adalah pengurangan jumlah pajak yang harus dibayar oleh perusahan. Entah sebenarnya menguntungkan atau tidak, namun banyak perusahaan yang dengan senang hati melaksanakan program ini. Alun-alun Kota Bandung salah satunya merupakan hasil dari program CSR ini. Namun, dibalik menggiurkannya program CSR ini, ada satu hal yang membuat resah para ahli planologi. Yaitu penyelewengan kekuasaan. CSR, secara formal merupakan bantuan sukarela perusahaan kepada berbagai kebijakan pemerintah daerah. Namun pada prakterknya, perusahaan meminta timbal balik kepada pemerintah daerah atas bantuan yang diberikan. Di satu sisi perusahaan memberi bantuan untuk pembangunan di wilayah tertentu, di sisi lain perusahaan meminta dimudahkan untuk perizinan perluasan pabrik produksi di wilayah lain. Ini adalah hal yang sebenarnya tidak diatur dalam Undang-undang.
Planologi mengatakan bahwa ini adalah fenomena umum dalam dunia tata kota. Kami, kata para planolog, hanya merencanakan dan menyarankan Tata kota dengan segala kemampuan dan perhitungan kami, pada prakteknya, politik lah yang membangun wajah kota menjadi seperti sekarang ini. Untuk sejenak memang terdengar mengejutkan. Untuk apa mempelajari ilmu yang tidak bisa kita manfaatkan dalam kehidupan. Tapi apalah daya, kekuasaanlah yang mampu menggerakan kebijakan. Mereka yang mempunyai Power lah yang bisa mengeksekusi sebuah kebijakan. Bisa kita saksikan di daerah Lembang yang seharusnya adalah daerah yang terlarang untuk mendirikan bangunan karena merupakan daerah rawan bencana dan resapan air, justru semakin menjamur perumahan-perumahan dan vila-vila mewah sebagai tempat rekreasi masyarakat dalam dan luar kota. Setelah diperiksa, ternyata mereka memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sesuatu yang sebenarnya aneh, IMB bisa dengan mudah didapatkan. Padahal untuk sekelas Kota Besar, IMB yang selalu memperhatikan segala macam perspektif semacam Amdal dan lain sebagainya, seharusnya sulit untuk dikeluarkan.
Sekali lagi, Kota Bandung memang semakin enak dipandang walaupun hanya di beberapa sudut kota saja. Segala kebijakan pasti mengandung dua mata pedang. Positif dan Negatif. Walaupun sebenarnya rancangan tata kota dari para planolog sering berbenturan dengan kebijakan kepala pemerintahan di suatu daerah, namun segala kajian tata kota dapat memberikan saran dan menjadi rujukan kepada para pemilik kekuasaan untuk mempertimbangkan kembali kebijakan yang akan diambil. Bapak wali saat ini yang memiliki latar belakang arsitek memang memiliki misi peningkatan indeks kebahagiaan warga kotanya. Sejauh ini sepertinya sudah berhasil.   
   

No comments:

Powered by Blogger.