Mencari Kebenaran Ibnu Sina
Umat Islam sering membangga-banggakan Ibnu
Sina dan Al-Farabi sebagai ilmuan Islam yang pernah berjaya di abad keemasan
Islam. Namun alangkah naifnya karena di saat yang sama, junjungan banyak orang
Islam seperti Al-Ghazali dengan terang-terangan menyebut Ibnu Sina dan
Al-Farabi kafir. Pun saat ini, jika Ibnu Sina dan Al-Farabi masih hidup, pasti
akan dikafirkan oleh mayoritas Umat Islam. Jangankan Ibnu Sina dan Al-Farabi,
Syiah dan Ahmadiyah yang sejatinya tidak seekstrim pandangannya Ibnu Sina saja
dikafir-kafirkan dan layak dibunuh. Tentu bukan Cuma Ibnu Sina dan Al-Farabi
yang sangat terpengaruh oleh filosof Aristoteles. Ibnu Rusydi pun juga adalah
Aristotelian dan menyanggah pendapat Al-Ghazali yang mengaharamkan filsafat
terutama filsafat Yunani. Selain Al-Ghazali, Ibnu Qayyim murid Ibnu Taimiyyah
yang merupakan pencetus cikal bakal pemahaman wahabi juga mengkafirkan para
saintis Islam yang Progresif.
Sebenarnya dalam sejarahnya hampir semua
saintis, filsuf, dan seniman besar di zaman keemasan Islam yang notabene di
luar dogma dan doktrin Sunni digolongkan sesat/kafir oleh mayoritas ulama besar
Sunni skolastik. Hal ini karena filsuf dan Ilmuan muslim di zaman keemasan ini
kebanyakan berasal dari golongan Mu’tazilah dan Qadariyah, sisanya sebagian
besar Syiah dan yang minoritas adalah Sunni. Walaupun ada fakta aneh bahwa Abu
Hasan Al-Asy’ari, pendiri madzhab Ahlu-Sunnah Wal-Jama’ah adalah mantan
pengikut Mu’tazilah. Sunni sendiri berkembang dari Hadis dan perkembangan hukum
Fiqh yang merupakan Ijma’ atau kesepakatan bersama.
Fenomena Umat Islam saat ini menganggap
Cendekiawan muslim pada masa keemasan Islam memiliki pandangan dan pemikiran
keagamaan yang sama dengan mereka. Misal, Ibnu Rusydi adalah seorang filsuf dan
ilmuan tulen, bukan ahli agama sepenuhnya. Bahkan dia adalah Aristotelian.
Penganut Filsafat Aristoteles. Meski begitu, pengetahuan agamanya cukup luas.
Dia juga terlibat aktif dalam pembelaan madzhab Mu’tazilah yang saat itu
dilabeli oleh Sunni sebagai sekte pemuja akal. Jadi sebenarnya Ibnu Rusydi
bukan Ulama atau orang Alim. Dalam peradaban keemasan Islam sendiri, yang mulai
mengadaptasi pemikiran Aristotelian yang berdasarkan logika adalah Al-Farabi
yang kemudian diikuti oleh Ibnu Sina. Konon katanya, kemunduran Umat Islam
dimulai saat banyak Fuqaha menulis kitab Fiqh yang dalam isinya berkomentar
atau menganggap aliran Mu’tazilah itu bid’ah atau sesat. Dan momentum utamanya
adalah saat Ulama Sunni Al-Ghazali memulai konfrontasi dengan menyerang
pemikiran Mu’tazilah dan penganut pandangan Ibnu Sina (Avicennaisme).
Al-Ghazali kemudian menulis buku yang berjudul ‘Tahafutul Falasifah’ (Inkoherensi
Filasafat) yang merupakan anti-tesis dan kritik keras kepada filsafat Yunani
dan logika di zaman keemasan Islam dulu. Buku ini menghasilkan fatwa kafir
kepada Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi dan sejumlah filsuf muslim beraliran
yunani lainnya. Buku itu juga menghasilkan ilmu mantiq islam, lawan dari ilmu
logika yunani.
Namun, Ibnu Rusydi kemudian menulis buku
tandingan ‘Tahafutut Tahafut’ (Inkoherensi Inkkoheren) yang intinya
melawan pemikiran Al-Ghazali. Sayang, bukunya tidak diminati di masyarakat
karena mayoritas masyarakat muslim saat itu sudah memberi stigma negatif
terhadap segala yang berbau filsafat dan sains. Ibnu Rusydi sendiri pada
akhirnya ditangkap oleh Khalifah Al-Ma’mun yang seorang Asy’ariyah. Ibnu Rusydi
diasingkan di sebuah getho di maroko. Akhir hidupnya mengenaskan, dikucilkan
dari peradaban Islam yang saat itu sudah didominasi pemikiran Al-Ghazali.
Dari sejarah ini sangat kentara terlihat bahwa
jiwa Islam sejak dahulu sudah diperebutkan antara yang konservatif dengan yang
progresif. Antara yang tekstual dan yang saintifik. Jangan heran jika sekarang
hampir tidak ada ilmuan Islam hebat di bidang ilmu pengetahuan, karena memang
sejak dahulu diserang dengan pengakafiran. Umat Islam pun dengan mudahnya
mencatut nama-nama besar Ibnu Sina, Al-Farabi, dan lain sebagainya sebagai
tokoh abad kebesaran Islam tanpa tahu sama sekali pendapat mereka tentang
banyak hal. Ibnu Sina misalnya tidak percaya akan malaikat, bahkan terhadap
Allah pun Ibnu Sina menganggapnya hanya sebagai Causa Prima,bukan
sebagai pencipta detail, sebuah pendapat yang hampir serupa dengan Newton. Ibnu
Sina juga tidak percaya adanya surga dan neraka. Nama-nama besar saintis Islam
sebenarnya banyak sekali yang pandangannya sangat berbeda dengan umat Islam
saat ini. Bagi beberapa orang, ketika dipelajari secara mendalam bisa dilihat
mengapa zaman itu ilmuan bisa
mendapatkan kemajuan karena mereka sangat kritis atas dogma-dogma Islam, mulai
dari Ketuhanan, Kenabian, Surga-Neraka, sampai Al-Quran. Sungguh sangat celaka
karena saat ini tidak ada saintis Islam yang seberani Ibnu Sina, Al-Farabi,
Al-Khawarizmy, Ibnu Rusydi, dan banyak yang lain dengan gagah berani menyatakan
pendapatnya walalupun ditentang oleh sebagian besar umat Islam di masanya.
No comments: