Hukum Bergulat dengan Ketidakdaulatannya



Sempat suatu ketika, Pak RK yang notabene adalah walikota Bandung menghukum push-up seorang pengendara motor yang berbalik arah tidak pada tempatnya. Kejadian ini sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu. Selepas shalat Idul Fitri di masjid raya Bandung, Pak RK menemukan pengendara motor yang berbalik arah secara sembarangan ketika hendak pulang ke rumahnya. Pak RK pun secara spontan memanggilnya. Sang pengendara motor beralasan jalanan sedang sepi ketika itu, sehingga dia tidak membahayakan pengendara atau pengguna jalan lain.

Peristiwa ini menuai banyak respon dari masyarakat khususnya masyarakat dunia maya atau yang biasa disebut netizen. Kebanyakan memberikan komentar positif serta salut kepada orang nomor 1 di Kota Bandung tersebut. Namun tidak sedikit juga komentar-komentar negatif yang mempertanyakan perbuatan Pak RK.

Saya sendiri berdiri di barisan komentator negatif pada kasus yang satu ini. Alasan saya sangat jelas. Tidak seorang pun boleh melakukan sanksi dan tindakan hukum selain penegak hukum. Posisi Pak RK sebagai walikota tidak melegitimasi perbuatannya tersebut. Walikota bukan lah penegak hukum. Tugas dan Pokok fungsi walikota adalah  sebagai kepala daerah dan pemimpin eksekutif di daerah, bukan penegak hukum. Tugas menegakan hukum berada di tangan pihak kepolisian, kejaksaan, dan konco-konconya..

Orang awam pasti akan melihat perbuatan Pak RK di atas sebagai perbuatan baik. Memberikan sanksi kepada pelanggar hukum bukan perbuatan yang salah, apalagi dilakukan oleh seorang walikota. Mereka tidak tahu bahwa Pak RK sebenarnya telah keluar dari jalur dan melewati kewenangan yang seharusnya berada di tangan penegak hukum yang sah. Apalagi dengan sewenang-wenang memberikan sanksi sekehendaknya sendiri berupa push-up yang jelas tidak sesuai dengan Undang-undang.

Pokok pembahasan saya sebenarnya bukan kepada Pak RK-nya. Tetapi kepada mereka yang melakukan perilaku-perilaku seakan mereka adalah penegak hukum. Khususnya ormas-ormas. Perlu diulangi lagi, Tidak seorangpun berhak melakukan sanksi dan tindakan hukum selain penegak hukum. Banyak ormas yang melampaui kewenangan penegak hukum dan bertindak seakan-akan mereka melakukan perbuatan yang sah. Contohnya perbuatan seperti ormas yang melakukan pungutan liar.
 
Apalagi ormas yang dibalut dengan visi dan misi yang seakan agamis. Ormas yang melakukan sweeping minuman keras. Mereka melakukan perusakan dan vandalisme terhadap warung-warung yang menjual minuman keras. Ditambah lagi sweeping terhadap warung remang-remang. Dengan dalih menegakan agama, ormas justru melakukan pelanggaran hukum itu sendiri. Sebagaimana Ibnu Rusyd pernah berkata, “Bungkuslah segala sesuatu yang bathil dengan agama. Maka pasti orang bodoh akan memperjuangkannya”

Sebagai warga negara yang baik, tugas kita adalah melaporkan kepada pihak yang berwenang, ketika melihat suatu pelanggaran hukum. Kita tidak berhak menindak, apalagi memberikan sanksi secara langsung. Pancasila dan Hukum Indonesia bisa dianalogikan sebagai suatu janji. Suatu perjanjian dan kesepakatan musyawarah bangsa Indonesia yang harus kita hormati, tepati, dan jalankan. Menepati janji adalah suatu kewajiban. Hukum harus kita hormati demi tercapainya sebuah kepastian kedamaian.

Kalau mengutip seorang sejarawan Islam, “Baru di zaman ini, ada umat Islam yang melakukan sweeping-sweeping mengatasnamakan Islam itu sendiri. Sampai 14 abad kebelakang pun anda cari pasti tidak akan temukan yang seperti ini” 

No comments:

Powered by Blogger.