Tentang Keadilan Tuhan dan Cinta



Obrolan di Pangkalan Ojeg.

“Jang, saya  sedikit bingung dengerin dua orang yang berdebat tadi”

Ucap Ujang heran. Dia baru saja kembali ke pangkalan ojeg selepas mengantarkan penumpang.

“Siapa Jang? Penumpang tadi?”

“Bukan. Tadi kan saya nganterin penumpang ke kampus yang di deket stasiun tuh. Kayaknya sih dia dosen. Nah, baru aja saya mau ngegas pulang ke sini, ada dua orang narik saya tiba-tiba. Salah satu dari mereka minta saya ngasih tanggapan dari pernyataannya”

“Emang pernyataan apa?”

“Dia ngomong gini Ceng, ‘Menurut Pidi Baiq, Jika Tuhan menampakkan dirinya, maka ia tidak adil, karena orang buta tidak bisa melihatnya.’ Nah, terus dia nanya ke saya, bener ngga pernyataan itu”

“Terus kamu nanggapinnya gimana?”

“Saya bilang, ‘wah, betul tuh pak, pernyataan yang bagus.  Bisa diterima juga.’ Dia sendiri terlihat sumringah mendengar jawaban saya”

“Kalau menurut saya sih Jang, pernyataan orang itu emang bisa diterima. Tapi, ngomong-ngomong, Pidi Baiq siapa sih Jang?”

“Bukan itu bagian pentingnya. Bagian pentingnya, jawaban dari yang satu orang lagi. Dia menjawab dengan singkat dan ga bisa disanggah sama orang yang tadi”

“Emang dia jawabnya gimana?”

“Dia bilang, ‘Bukankah adanya Orang buta sendiri adalah bentuk ketidakadilan tuhan?’ begitu”

“Waduh, makjleb sekali itu jawabannya. Saya yakin orang yang pertama tadi ga bisa jawab yah Jang?”

“Betul sekali Jang, dia langsung terdiam seribu bahasa. Abis itu si orang yang kedua malah jadinya jelasin tentang logical fallacy. Apa yah artinya, Oh iyah, Kesalahan dalam berpikir atau berlogika Ceng”

“Mantap yah Jang. Tapi kita juga harus cari jawabannya Jang. Nanti malem abis pengajian, kita tanya pak kyai. Tapi Jang, pertanyaan saya, Pidi Baiq tuh sebenernya siapa?”

“Saya kesel kalau ngomongin dia Ceng. Masa dia bilang ‘Cinta itu indah, Jika bagimu tidak, mungkin kamu salah milih pasangan’ begitu katanya. Seakan-akan cinta itu hanya terjadi antara pasangan. Jadi perasaan jomblo seperti saya ini, yang tidak punya pasangan, yang mencintai dalam diam, tidak bisa disebut cinta Ceng. Saya juga bisa merasakan keindahan cinta Ceng. Contohnya kepada kedua orang tua saya”

“Udah Jang, Udah. Mending kita ngopi”

Untuk break time siang itu, seperti hari-hari sebelumnya, Ujang dan Aceng makan siang di warteg sebelah.

No comments:

Powered by Blogger.