Kritik pada Nilai
“Punggungku terasa kaku
akhir-akhir ini. Kepalaku terasa membesar hari demi hari, sukar untuk menoleh
ke bawah. Pula leherku semakin susah untuk menoleh kanan dan kiri”
Warung kopi di pagi itu
dihangatkan oleh dua orang yang sedang bercengkrama. Tanpa sengaja Aku
mendengar dari seberang meja percakapan mereka berdua.
“Aku pernah ditegur oleh
dosenku, tentang tata krama. Kebiasaanku ketika berjalan melewati seseorang
dengan membungkukan badan dan memberi senyum seraya berkata ‘punten’,
dikritiknya. Katanya, dia tidak suka kelakuanku itu. Sangat kolot dan
menunjukan mental ‘inlander’ katanya. Seorang manusia itu setara dengan
manusia lainnya. Dia memintaku untuk menghilangkan kebiasaanku itu. Dia lebih
suka diberi sapaan selamat pagi dengan senyuman”
Tertarik mendengar
percakapan keduanya, aku sengaja berlama-lama. Kupesan lagi satu kopi selepas
menghabiskan satu cangkir kopi pertama, ditambah dua biji lontong serta
sepiring tahu hangat Sumedang, tidak lupa ‘cengek’ na biar jos. Kebetulan hari
ini sedang ‘One Day No Rice’ Jadi makan Lontong saja.
“Akupun baru sadar
ternyata semua orang di sekitarku melakukan hal yang sama. Tidak ada eksperesi
membungkukan badan khas pondok dan kampungku. Punggung mereka ditegakkan
setegak-tegaknya ketika berpapasan dengan orang lain. Kepala mereka ditegakan
ke atas melambangkan kepercayadirian mereka. Leher mereka kaku seakan tidak
bisa memberi perhatian lain kepada sekelilingnya, lingkungan, kolega, sosial,
seakan dunia ini hanya tentang mereka. Bahkan seorang anak kecilpun sudah
melakukan semua hal itu di tempat ini. Lihat anak kecil yang tadi lewat, dia
melakukan persis apa yang semua orang lakukan di tempat ini. Akhirnya aku coba
menerapkan kebiasaan baru itu. Dan hasilnya, seperti yang aku katakan tadi,
Punggungku terasa, Kepalaku terasa membesar hari demi hari, sukar untuk menoleh
ke bawah dan leherku semakin susah untuk menoleh kanan dan kiri”
Tak terasa satu piring
tahu sudah habis kulahap. Anak kecil yang sedang dibicarakan mereka berdua
memandangku dari seberang. Kulihat kedua orang tuanya sedang sibuk sendiri
dengan gadget masing-masing. Kembali kualihkan pandanganku kepada kedua orang
tadi. Salah seorang yang dari tadi hanya diam mendengarkan temannya bercerita
akhirnya membuka mulut.
“Haha. Nilai itu sesuatu
yang subjektif memang. Tetapi biasanya disetujui dulu oleh seluruh anggota
kelompok. Sesuatu bisa bernilai baik di satu tempat dan dinilai buruk di tempat
lain. Kenapa kamu harus jadi orang lain? Menyetujui nilai orang lain yang
kenyataanya berbeda nilai denganmu sendiri?”
Aku tersenyum kecut. Hmm,
jawaban retoris dari temannya. Macam politikus pada musim kampanye. Tidak
memberi solusi yang konkrit. Jadi teringat pertanyaan menggelitik temanku di
kelas waktu mata kuliah Sistem Politik.
“Pak, menurut anda,
apakah seorang kriminial punya hak untuk memilih?”
“Nak, seorang kriminal
boleh untuk dipilih, kenapa pula tidak boleh memilih?”
Jawaban yang tanpa
tendeng aling-aling dari dosenku.
“Aku merasa, kekakuan
tubuhku adalah reaksi penolakan terhadap kebiasaan baruku ini. Punggungku
terasa kaku, ia jadi tidak lentur seperti biasanya. Begitu pula leher dan
kepalaku. Namun bukan itu yang aku takutkan. Aku takut pada kesombongan hati
yang terbentuk dari perilaku baruku itu. Kalau tentang nilai, jelas ini bukan
bicara agama. Ini kan tentang nilai adat istiadat bangsa kita”
Aku sedikit sangsi.
Pasalnya ini hanya adat dari salah satu suku bangsa kita. Bukan seluruhnya. Aku
berpikir begitu karena pernah membaca tulisan seorang batak perempuan yang tidak
nyaman saat teman-teman jawanya melarangnya tertawa keras karena sebab ia
seorang perempuan katanya.
“Aku berencana menemui
dosenku untuk berdiskusi kembali mengenai masalah ini. Ada yang salah disini.
Tentu saja tidak lupa diawali dengan memberi salam, menyapa, mencium tangan,
dan berkata ‘punten’ sebelum memulai dialog”
Kedua orang itu
sepertinya sudah selesai menyantap hidangan. Mereka keluar, melewati mejaku dan
tidak lupa mengatakan kata magis ‘punten’. Aku pun sudah hampir pada gigitan
terakhir lontongku. Kulihat anak kecil tadi datang menghampiriku. Tanpa kata
‘punten’ ia tiba-tiba menamparku.
“One Day No Rice kok
makan lontong!”
No comments: